Artikel tentang cara menulis yang baik dan benar lagi kreatif. Â Itu topik artikel yang saya benci.
Mengapa saya benci, silahkan membaca kembali trilogy artikel saya tentang "Anarkisme Tekstualisasi" di Kompasiana ini.Â
Dicari sendirilah, kalau berminat. Â Kalau malas mencari, ya sudah, tak jadi soal.
Intinya, dalam tiga artikel itu, saya menyatakan bahwa, petama, setiap orang adalah penulis. Â Jika ada orang yang mengaku tidak bisa menulis, berarti dia menyangkal dirinya.
Kedua, karena setiap orang adalah penulis, maka karya tulis setiap orang bersifat khas, sesuai keunikan karakter individu.
Ketiga, kekhasan itu muncul karena setiap orang menulis (tektualisasi) secara anarkis. Artinya, tidak tunduk pada pedoman atau resep menulis yang baik dan benar menurut "orang yang merasa dirinya ahli menulis".
Sekali seseorang menulis seturut pedoman yang diajarkan "ahli tulis" itu maka dia telah "bunuh diri". Â Karena tulisannya tidak akan mencerminkan dirinya. Â Melainkan diri si ahli tulis yang dipanutinya.Â
Menulis anarkis? Â Mengapa tidak. Anarkis berarti bebas menggunakan metode dan teknik menulis apa saja. Â Prinsipnya, "metode (menulis) saya adalah tanpa metode (menulis)". Â Mudah, bukan?
Hanya ada tiga hal yang perlu menjadi tuntunan untuk menulis. Â Pertama, logis atau masuk akal seturut pikiran sehat. Kedua, etis atau tidak merendahkan orang lain atau sesuatu apapun, seturut norma sosial. Â Ketiga, estetis atau mengandung nilai keindahan, seturut subyektivitas penulis.
Tidak sulit untuk logis, etis, dan estetis. Â Logika adalah bawaan lahir pada tiap orang, tinggal bagaimana mengasahnya dengan mempertanyakan kebenaran setiap hal. Â Etika sudah diajarkan ibu sejak masih bayi. Â Estetika tumbuh sejalan perkembangan kesadaran lingkungan.
Kapasitas logika, etika, dan estetika pada tiap orang itu unik, seturut perkembangan masing-masing sebagai mahluk sosial.Â