Yang terbaru, viral di medsos, adalah video pedagang pengumpul apel di Malang membuang berkotak-kotak apel manalagi Malang ke jurang di pinggir jalan. Beberapa saat setelah video diupload di jarsos, Susilo, pedagang pelaku pembuangan itu langsung minta maaf. Dia menjelaskan apel yang dibuang adalah afkiran, sudah besem dan busuk, tidak layak konsumsi, karena terlalu lama ditumpuk di gudang ("Pedagang di Malang Minta Maaf Buang Apel Afkir", 10/02/2019).
Tak lama kemudian, Agus WP, pelakunya minta maaf lewat video, sambal menjelaskan bahwa buah naga yang dibuang adalah kualitas yang tak laik konsumsi, sudah mulai membusuk "Video Buang Buah Naga ke Sungai Viral, Petani Ini Minta Maaf", detik.com, 21/01/2019).
***
Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Benarkah petani/pedagang membuang-buang produk segar hortikultura karena harganya anjlok di pasaran?
Mungkin memang faktor harga murah bisa jadi pemicu. Tapi dari beberapa kasus di atas, diketahui penyebabnya adalah faktor kerusakan produk (apel, buah naga) dan pergantian jenis tanaman (cabai, kasus Kulonprogo). Bahkan ada informasi dari rekan-rekan pegiat hortikultura, cabai yang dibuang di Demak sebenarnya juga cabai rusak.
Fakta petani membuang-buang produk sperti itu, di satu sisi, mencerminkan keberhasilan pemerintah juga untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Masalahnya, saya piker, terjadi kelebihan produksi akibat panen raya di satu titik waktu, sehingga harga produk turun di pasaran. Petani tak punya pilihan kecuali menjual hasil taninya dengan harga murah. Atau lebih ekstrim, membiarkan tanaman membusuk di lahan menjadi pupuk organik (tidak dimusnahkan).
Kelebihan produksi itu sebenarnya mencerminkan kegagalan pemerintah untuk menguatkan petani di sektor hilir, khususnya bidang pengolahan pertanian. Ini mungkin janji Presiden Jokowi yang belum optimal capaiannya.