Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dari Candi Ceto Tanpa Tongkat Liwung Bertuah

6 Januari 2019   22:36 Diperbarui: 7 Januari 2019   22:16 1510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panorama ke arah Candi Ceto dari Bukit Kemuning di lereng Gunung Lawu (Dokpri)

Saat mobil tua kami merayap pakai gigi satu pada tanjakan Ceto, tanjakan terakhir dengan elevasi 30-an derajat, adalah saat pertama sepanjang pengalaman berkendara, saya berdoa cemas mohon selamat. 

Apalagi ketika mesin mobil sempat mati, karena mendadak direm, mengantisipasi mobil lain 10 meter di depan yang mati mesin dan nyaris mundur. Beruntung seorang satpam sigap memasang ganjal batu pada roda belakang mobil depan dan kemudian mobil kami.

Panorama ke arah Candi Ceto dari Bukit Kemuning di lereng Gunung Lawu (Dokpri)
Panorama ke arah Candi Ceto dari Bukit Kemuning di lereng Gunung Lawu (Dokpri)
"Uji nyali...," gumam Mas Supri, supir kami, ketika mobil sudah aman di parkiran, pekarangan rumah warga. Senyumnya tipis kecut, rona mukanya pias, tapi terlihat lega.  

Saya menoleh ke belakang, ke bawah, menyaksikan tanjakan curam berkelok-kelok,  berhias jurang menganga di kiri atau kanan, tanpa pagar baja pengaman. Sejumlah mobil merayap di bawah sana, semoga selamat tiba di atas. Satu mobil masuk parkiran dengan asap mengepul dari rumah mesin, menebar bau karet terbakar, karena kanvas koplingnya "terbakar" (overheating).

Saya membathin, "Kalau saya yang pegang kemudi, pasti mobil tak akan pernah tiba di  Candi Ceto." (Karena sudah keburu keder lalu putar-balik di bawah sana).

Jalan menuju Candi Ceto, dari Kemuning, inilah hal pertama yang perlu ditingkatkan kondisinya. Sekurangnya dimuluskan lagi dan, yang terpenting, untuk keamanan dipasang pagar besi pengaman sepanjang sisi berjurang. Mungkin pada jarak tertentu perlu juga dibuat "ceruk datar" (bay), untuk berhenti sejenak mengumpul nyali.  

Saran ini jelas ditujukan kepada Pemerintah Kabupaten Karanganyar dan Provinsi Jawa Tengah. (Belakangan saya baca berita on-line, di jalur itu sudah beberapa kali terjadi kecelakaan yang makan korban jiwa. Kendaraan gagal nanjak, lalu merosot terjun ke jurang.)

Kondisi jalan itu hal pertama yang saya pikir mendesak ditingkatkan.

Gapura utama Candi Ceto dilihat dari punden keempat (Dokpri)
Gapura utama Candi Ceto dilihat dari punden keempat (Dokpri)
Kedua adalah kondisi candi itu sendiri. Berdiri di depan gerbang candi, saya merasa ada sesuatu yang janggal: struktur dan kondisi fisik candi itu terlalu modern untuk sebuah candi peninggalan Hindu. 

Saya bukan ahli candi atau kepurbakalaan. Jawabannya kemudian terbaca di papan denah candi di punden pertama. 

Ternyata, candi yang "ditemukan" van de Vlies  tahun 1842 ini, sudah dipugar Sudjono Humardani pada akhir 1970-an, konon berdasar petunjuk alam gaib. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun