Saat mobil tua kami merayap pakai gigi satu pada tanjakan Ceto, tanjakan terakhir dengan elevasi 30-an derajat, adalah saat pertama sepanjang pengalaman berkendara, saya berdoa cemas mohon selamat.Â
Apalagi ketika mesin mobil sempat mati, karena mendadak direm, mengantisipasi mobil lain 10 meter di depan yang mati mesin dan nyaris mundur. Beruntung seorang satpam sigap memasang ganjal batu pada roda belakang mobil depan dan kemudian mobil kami.
Saya menoleh ke belakang, ke bawah, menyaksikan tanjakan curam berkelok-kelok, Â berhias jurang menganga di kiri atau kanan, tanpa pagar baja pengaman. Sejumlah mobil merayap di bawah sana, semoga selamat tiba di atas. Satu mobil masuk parkiran dengan asap mengepul dari rumah mesin, menebar bau karet terbakar, karena kanvas koplingnya "terbakar" (overheating).
Saya membathin, "Kalau saya yang pegang kemudi, pasti mobil tak akan pernah tiba di  Candi Ceto." (Karena sudah keburu keder lalu putar-balik di bawah sana).
Jalan menuju Candi Ceto, dari Kemuning, inilah hal pertama yang perlu ditingkatkan kondisinya. Sekurangnya dimuluskan lagi dan, yang terpenting, untuk keamanan dipasang pagar besi pengaman sepanjang sisi berjurang. Mungkin pada jarak tertentu perlu juga dibuat "ceruk datar" (bay), untuk berhenti sejenak mengumpul nyali. Â
Saran ini jelas ditujukan kepada Pemerintah Kabupaten Karanganyar dan Provinsi Jawa Tengah. (Belakangan saya baca berita on-line, di jalur itu sudah beberapa kali terjadi kecelakaan yang makan korban jiwa. Kendaraan gagal nanjak, lalu merosot terjun ke jurang.)
Kondisi jalan itu hal pertama yang saya pikir mendesak ditingkatkan.
Saya bukan ahli candi atau kepurbakalaan. Jawabannya kemudian terbaca di papan denah candi di punden pertama.Â
Ternyata, candi yang "ditemukan" van de Vlies  tahun 1842 ini, sudah dipugar Sudjono Humardani pada akhir 1970-an, konon berdasar petunjuk alam gaib.Â