Kedua, kemungkinan sebagai strategi bertahan (coping strategy) pada periode-periode kelangkaan bahan makanan, mungkin pada masa-masa paceklik panjang. Â Kelangkaan bahan makanan pokok dan hewan buruan pada suatu masa sangat mungkin mengarakan orang Batak tempo dulu untuk mengkonsumsi daging anjing yang dipeliharanya.
Bukan Makanan Rumahan
Untuk masa sekarang, daging anjing lazimnya disajikan di kedai-kedai makan Batak dan terutama di kedai-kedai tuak sebagai tambul (makanan pelengkap minuman tuak).  Karena yang datang ke kedai tuak umumnya adalah laki-laki, maka daging anjing cenderung dikonotasikan sebagai "makanan laki-laki".
Daging anjing tidak lazim disajikan sebagai makanan rumahan.  Kalau sekarang ada lagu "Sayur Kol" (sedang viral) yang menyebut "makan daging anjing dengan sayur kol" di rumah namboru (saudara perempuan ayah) di Siborongborong, itu adalah plesetan yang menyesatkan. Seolah-olah daging anjing merupakan makanan rumahan sehari-hari di di sana.
Versi asli lagu itu, sudah ada sejak tahun 1970-an, mengatakan begini (penggalannya): "Ditogihon ahu mangan hu jabuna. Ingkauna jagal hoda dohot kol"Â (Aku diajak makan di rumahnya. Â Lauk-pauknya daging kuda dan sayur kol). Â Ini kontekstual, karena daerah Siborongborong (Humbang) sejak zaman dulu sudah dikenal sebagai daerah peternakan kuda Batak dan penghasil sayuran kol/kubis.Â
Paparan ringkas di atas pastilah belum lengkap, dan terbuka untuk diperdebatkan. Â Tapi dari paparan itu sudah jelas bahwa "makan daging anjing" bukanlah sebuah tradisi bagi orang Batak.Â
Demikian sedikit diskusi dari saya, Felix Tani, pertain mardijker, yang tak pernah merekomendasikan kepada siapapun untuk makan daging anjing.***
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H