Karena itu kepadanya harus diberikan persembahan, agar air tetap membuncah dan mengalir dari mata air itu untuk mengairi sawah dan mencukupi kebutuhan lahir (minum, mandi, cuci) warga komunitas. Â Â
Pemberi persembahan pada Boru Saniangnaga yang berdiam di mata air itu lazimnya dilakukan pada upacara "bersih telaga" (patiur homban) di awal musim tanam.  Seorang Datu (Dukun) akan menyerukan tonggo-tonggo Boru Saniangnaga, suatu doa pujian sekaligus pengantar persembahan, agar Boru Saniangnaga berkenan memberikan keberhasilan usahatani melalui kelimpahan air untuk pengairan.
Doa dan persembahan serupa juga disampaikan kepada Boru Saniangnaga apabila nelayan Danau Toba (disebut partoba) memasuki musim  menangkap ikan.  Tujuannya agar air danau tenang tanpa ombak dan badai, sehingga nelayan selamat dan dimudahkan menangkap ikan.
Monisme Batak dan Kelestarian Alam
Keyakinan paganis orang Batak tentang kuasa Boru Saniangnaga sejatinya adalah bagian dari faham monisme Batak.  Faham yang meyakini kesatuan alam dan manusia, dalam arti manusia adalah bagian integral dari alam itu.
Monisme itu kebalikan dari dualisme yang diperkenalkan Barat, tepatnya oleh agama Kristiani dan Kolonialis kepada orang Batak.  Dualisme meyakini manusia sebagai pihak yang otonom terhadap alam, yang dikenal sebagai prinsip Dominium Terra (Manusia adalah tuan atas bumi).
Keyakinan pada kuasa Boru Saniangnaga, juga Boraspati ni Tano, kemudian mewajibkan orang Batak untuk menjaga keselarasan dengan alam, dengan air dan tanah.Â
Itu sebabnya orang Batak memberi persembahan kepada Boru Saniangnaga, membacakan doa, agar selalu diberi air melimpah untuk mendukung kehidupan, khususnya pertanian dan perikanan.
Jika diperhatikan isi persembahan kepada Boru Saniangnaga, antara lain di dalamnya terdapat kapak, gurdi, dan pisau  (disamping tang catut, bulu ekor ayam putih, bonggol bamboo, batu petir, jarum, jeruk purut, telur ayam, sirih).  Penyerahan tiga alat itu (kapak, gurdi, pisau) adalah pernyataan "tidak akan merusak vegetasi sekitar sumber air".
Orang Batak, berdasar pengalaman, tahu bahwa jika vegetasi gundul, maka mata air akan kering, sehingga usahatani akan gagal panen. Â Jadi, fungsi laten persembahan dan doa kepada Boru Saniangnaga itu adalah membangun kesepakatan komunitas untuk menjaga kelestarian sumber-sumber air.
Orang Batak tempo dulu percaya jika mereka merusak sumber air, termasuk mencemarinya, maka kehidupan mereka akan sengsara, karena debit air tak cukup untuk mendukung kehidupan. Â Kondisi itu dipahami sebagai manifestasi kemarahan Boru Saniangnaga, yang telah direndahkan eksistensinya.