Sepintas, tampilan  Jugia terlihat sama dengan ulos Ragidup yang lebih populer, karena merupakan jenis ulos yang selalu dikenakan oleh suhut bolon (tuan rumah utama) dalam pesta-pesta adat Batak. "Salah lihat" semacam itu bisa dimaklumi, karena Jugia sebenarnya peningkatan dari Ragidup.  Karena itu Jugia dinamai juga Pinunsaan, artinya "(Ragidup) yang ditingkatkan kualitas motif dan tenunannya".
Lima Bagian Ditenun Lima Penenun
Penenunan Jugia tak boleh sembarang.  Harus taat pada aturan waktu baik menurut hatiha (penanggalan) Batak.  Lazimnya penenunan dimulai pada artia (hari pertama) dan sudah harus selesai pada tula (hari keduapuluh bertepatan purnama).
Karena ketatnya aturan waktu, dan tuntutan ketepatan dan kecermatan motif yang sungguh padat dan rumit, maka lima bagian  Jugia lazimnya  ditenun secara terpisah oleh lima orang penenun dengan tingkat keahlian tertinggi. Setelah selesai, kelima bagian itu kemudian diihot (diikat) menjadi satu lembar ulos dengan teknik jahitan tangan.
Mengingat rumitnya motif ulos itu, maka penenun Jugia haruslah berkualifikasi Parpitu Lili.  Gelar ini merujuk pada pengggunaan tujuh batang lidi (pitu lili),  jumlah lidi yang digunakan sebagai pembawa benang  (satu lidi satu warna benang) untuk pembentukan motif Jugia. (Istilah parpitu lili kemudian dalam Bahasa Batak digunakan untuk menyebut kualitas orang berkeahlian sangat tinggi).
Karena itu, jika ada orang memesan ulos Jugia maka penenun akan mencari tahu dulu asal-usul dan status sosial pemesan, serta peruntukan ulos tersebut. Â Pengetahuan itu kemudian menjadi dasar bagi penenun untuk menentukan motif tinorpa. Â Tujuannya agar makna atau pesan simbolik pada motif Jugia serasi dengan asal usul dan status sosial pemesan serta peruntukannya.
Langka Karena Syarat Penggunaan yang Berat
Jugia kini sudah menjadi jenis ulos yang langka. Â Bukan saja karena biaya pembuatannya yang sangat mahal, terkait proses penenunannya yang berat, motifnya yang bermakna spesifik dan indah, kualitas yang sangat tinggi, dan syarat kesesuaian karakter sosial pemilik dan jugianya. Tapi karena syarat penggunaannya yang sangat berat.
Dahulu hanya warga dari kalangan elit  sosial Batak yang boleh menggunakannya, tepatnya elit "raja",  baik "raja adat" maupun "raja huta".  Warga biasa, apalagi kalau diketahui sebagai keturunan hatoban (budak) dinilai tak layak mengenakan Jugia.
Tapi yang membuatnya langka sebenarnya adalah aturan bahwa Jugia hanya boleh dikenakan apabila sudah meninggal dunia.  Itupun meninggal dunia dengan kualitas langka, yaitu Saurmatua Bulung (atau disebut juga Saurmauli Bulung.).  Kepada almarhum, Jugia akan diletakkan di atas badannya sebagai ulos saput (pakaian), tapi tidak dibawa serta ke dalam makam.