Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Janji Petani pada Istrinya

30 September 2018   11:22 Diperbarui: 30 September 2018   13:32 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Padi terkena serangan sundep (Foto: cibex.pertanian.go.id)

Pagi ini dari rumah tubuhku adalah sejumput kapas yang melayang ringan meniti hembus angin ke arah sawah.

Sudah ku sunggingkan senyum di bibir, pengantar tawa lebarku nanti saat memandang hamparan hijau pupus malai padi yang baru terbit di bentang tigaratus tumbak sawahku.

Sudah delapan puluh hari usia padiku pagi ini.

Istriku tadi mengantarku ke pintu rumah kayu sahaja kami dengan senyum termanis di bibirnya. Tadi malam di peluknya telah ku janjikan sepasang giwang emas baginya. Giwang tuanya telah ku jual di paceklik dua tahun lalu.

Gabah dari tigaratus tumbak sawah adalah harapan atas janji sepasang giwang untuk dua lubang tindik yang sudah menutup di sepasang telinga istriku.

Empat puluh  hari lagi dari pagi ini akan tiba masa panen sawahku.

Tapi pagi ini juga  tubuhku telah menjadi seonggok batu dingin yang menancap kaku di pematang sawah.

Retina sepasang mataku tidak memantulkan bayang hamparan hijau pupus malai padi muda. Terpantul di pelupuk hanya bayang hamparan malai putih padi hampa.

Hama sundep yang menggempur sawahku dua puluh hari lalu ternyata tak musnah oleh semprotan pestisida utangan dari toke sarana tani yang teramat pandai membual.  

Jahanam sundep itu telah menghisap habis cairan padiku. Untukku kini hanya  tersisa cangkang putih hampa di malainya. Tiga ratus tumbak sawahku telah puso.

Sawahku gagal panen musim ini, hasilnya hanya cukup untuk makan berdua istriku dalam separuh purnama.

Harapanku, harapan istriku, akan sepasang giwang emas adalah hamparan malai putih hampa yang  tak lekang dari pelupuk sepasang mataku yang kini menjadi telaga berair pahit pedih.

Ada sembilu ku rasakan menyayat jantungku perih tak kepalang. Darahnya menetes dari sepasang mataku di rupa air mata merah.

Langit biru pagi  membingkai surya emas, dia tak hendak peduli pedih luka di jantungku.

Tubuhku kini tak lebih dari seonggok batu dingin yang menancap kaku di pematang sawah. Tak hendak pulang tubuhku ke rumah kayu sahaja sebab tak tega  menerima dekap hangat tubuh istriku.  

Aku sungguh tak tahu, Tuhanku, akan ku jawab apa nanti tanya riang isteriku tentang janji sepasang giwang emas.***

 

Jakarta, 30 September 2018

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun