Masuk di ruang "Kematian" (Death), dapat disaksikan jenis-jenis ulos yang lazim digunakan dalam ritus kematian. Di sini bisa dilihat ulos Gatip Ribu-ribu, Ragi Huting, Sibolang Pamontari, Jungkit, dan Ragidup. Sibolang lazim dikenakan pada jasad sebagai ulos "saput" (pakaian) untuk dibawa serta ke liang kuburan.
Semua ulos yang dipamerkan sangat indah motifnya dalam penglihatan mata lahir. Jujur, bagi saya ragam ulos itu sungguh mempesona, dari segi motif, warna, dan mutu tenunan. Semua ulos itu ditenun menggunakan benang katun halus terbaik.
Tambahan, saya mendapat kesempatan untuk melihat jenis-jenis ulos langka yang, terus terang, ini untuk pertama kalinya saya lihat. Sebut misalnya ulos Lobu-lobu, Simarpisoran, Ragi Huting, Padang Ursa, dan Gatip Ribu-ribu.
Kegagalan menunjukkan pesan simbolik itu itu terjadi, saya kira, karena pameran itu hanya menggolongkan ulos menurut penggunaaannya pada tahap-tahap kehidupan, dari lahir sampai mati. Sementara pesan simbolik, atau makna terdalam ulos, harus ditunjukkan dalam konteks komunikasi simbolik masyarakat Batak dalam tatatan Dalihan Na Tolu.Â
Tepatnya komunikasi simbolik antara Hula-hula, Boru, dan Dongan Tubu dalam sebuah ajang adat, semisal adat kelahiran, perkawinan, dan kematian. Hula-hula dan Boru itu mengenakan jenis ulos yang berbeda, memberikan jenis ulos yang berbeda, dan menerima jenis ulos yang berbeda pula.
Pemberian ulos oleh satu pihak ke pihak lain dalam upacara adat itu adalah doa dan harapan, yang diringkaskan dalam pesan "Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru" (Sembah/hormat pada hula-hula, hati-hati pada kerabat sedarah, kasih pada boru).
Konteks komunikasi, atau interaksi sosial keadatan, itulah yang tidak tersajikan dalam pameran "Ulos, Hangoluan, Tondi". Jadinya, pemeran ulos itu, setidaknya bagi saya, menjadi pameran ulos tanpa jiwa.Â
Risikonya, pameran seperti itu, khususnya di ruang "Kehidupan" (Life) yang memamerkan begitu banyak ulos dengan cara digantung, bisa terpeleset menjadi semacam "jemuran ulos".
Tapi saya kira, ini adalah permulaaan bagi Yayasan Del, yang menggandeng lembaga Tobatenun sebagai pendukung pameran. Pada pameran selanjutnya mungkin, ini harapan saya, Yayasan Del akan mendayagunakan konteks komunikasi Dalihan Natolu orang Batak. Untuk menampilkan jiwa pada setiap helai ulos Batak tersebut.
Pameran ini berlangsung di Museum Tekstil Jakarta dari tanggal 20 September sampai 7 Oktober 2018. Masih ada waktu bagi yang berminat untuk menyaksikannya. Dan mungkin perlu diingatkan, bolehlah bawa binokuler, karena keterangan yang dilekatkan pada ulos-ulos itu teknya kecil dan ada yang diposisikan terlalu tinggi sehingga tak terbaca.