Melihat dengan mata lahir, kain tenun etnik manapun adalah sesuatu yang memesona. Dan melihat dengan mata batin, kain tenun etnik itu adalah sesuatu yang menggetarkan jiwa.
Setidaknya begitu rumus yang saya gunakan untuk mendapatkan pengalaman penuh saat melihat selembar kain tenun etnik, kapanpun dan dimanapun.
Tapi saat melihat helai-helai ulos pada Pameran "Ulos, Hangoluan, Tondi" (Ulos, Kehidupan, Jiwa), yang memamerkan ulos Batak Toba koleksi pribadi Devi Panjaitan dan Kerri Na Basaria, saya gagal mendapatkan pengalaman penuh itu.
Saya hanya tiba pada taraf terpesona, dan tidak berhasil masuk pada taraf tergetar. Padahal, saya datang ke pameran yang diprakarsai Yayasan Del bentukan Luhut B. Panjaitan, dan dibuka oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya ini, dengan ekspektasi memperoleh pengalaman penuh.
Sebenarnya mungkin kurator pameran punya intensi juga memberi getaran jiwa, dengan melibatkan interior disainer muda Mita Lukardi untuk penataan ruang pamer dan penataan letak ulos.Â
Tata ruang yang diberi sekat tirai kain serba hitam dan tata cahaya yang didominasi merah mungkin dimaksudkan untuk memberi suasana magis. Tapi bagi saya, tata ruang dan pencahayaan seperti itu justru menenggelamkan keindahan ulos Batak yang umumnya berwarna gelap.Â
Malahan, menyusuri lorong-lorong temaram bertirai kain hitam di ruang pamer itu, dengan tingkahan musik bernuansa transenden, mengingatkan saya pada pengalaman memasuki lorong-lorong rumah hantu di taman hiburan.
Sebenarnya, pameran ini sudah tepat mengambil tema "Stages of Life", "Tahap-tahap Kehidupan". Idenya adalah menunjukkan peran ulos dalam setiap tahap kehidupan orang Batak Toba, mulai dari tahap Kelahiran (Birth), Kehidupan (Life), Perkawinan (Marriage), dan Kematian (Death).
Pentahapan itu menunjuk pada peralihan-peralihan dalam siklus kehidupan, dan untuk setiap peralihan itu terdapat ritus yang melibatkan peran penting ulos sebagai pesan simbolik.
Pesan simbolik itulah sejatinya jiwa ulos, dan persisnya itulah yang gagal saya temukan dalam pameran ini. Itu sebabnya saya kesankan pameran ini sebagai sebuah pameran ulos tanpa jiwa. Padahal judulnya "Ulos, Kehidupan, dan Jiwa".
Pameran ini sebenarnya berhasil menunjukkan jenis-jenis ulos yang digunakan sebagai pesan simbolik dalam setiap ritus peralihan kehidupan orang Batak, sejak masih tersembunyi berupa janin hingga turun ke dalam tanah dalam peti mati.
Ketika seorang janin masih dalam rahim ibunya, pada usia tujuh bulan, lazim orangtua dan mertua "mangulosi" (memberi ulos) Sang Ibu dengan "ulos tondi" (ulos jiwa). Maksudnya memberi kehangatan pada jiwa jabang bayi, agar kuat dalam rahim ibunya, dan nanti lahir dalam keadaan sehat lahir dan bathin.
Terkait ritus tersebut, pameran ini di ruang "Kelahiran" (Birth) menyajikan satu jenis ulos yang sudah langka yaitu "ulos lobu-lobu". "Lobu" artinya "masuk rumah". Pesan simboliknya, agar janin datang ke dalam rahim ibunya (rumah), dan kelak lahir sehat lahir batin.Â
Ulos ini akan dipakai oleh anak/menantu perempuan itu sampai (diharapkan) dia hamil dan kemudian melahirkan. Saat bayi lahir, maka dia akan dibedong dengan ulos itu, untuk selanjutnya akan digunakan sebagai kain gendongan bayi/balita.
Variasi ulos terbanyak ditemukan dalam ruang "Kehidupan" (Life), antara lain ulos Simarpisoran, Sibolang, Padang Ursa, Ragi Hotang, Suri-suri Ganjang, Bintang Maratur, dan Julu. Ini jenis-jenis ulos yang lazim dikenakan dalam upacara-upacara adat masyarakat Batak Toba.
Di ruang "Pernikahan" (Marriage) dipamerkan beberapa jenis ulos yang lazim dikenakan pada upacara adat perkawinan Batak. Baik yang dikenakan pihak "boru" (pemberi mempelai pria), "hula-hula" (pemberi mempelai perempuan), dan "dongan tubu" (sanak saudara). Juga ulos yang lazim "diuloskan" kepada kedua mempelai.
Satu yang paling menarik adalah ulos Ragidup ukuran besar, lebar sekitar 125 cm dan panjang sekitar 200 cm. Untuk diketahui, Ragidup adalah jenis ulos urutan kedua tertinggi dari segi nilai pesan simboliknya. Urutan pertama adalah ulos Jugia, tergolong langka, yang dipamerkan juga di situ.Â
Bagian pertama adalah bagian tengah yang disebut "tor" (badan ulos), bagian kedua dan ketiga adalah belahan kiri dan kanan ulos yang disebut "ambi", dan bagian keempat dan kelima di ujung atas dan bawah ulos adalah kepala ulos yang disebit "tinorpa".Â
Motif tinorpa ini sangat rumit dan rapat sehingga merupakan bagian ulos yang paling sulit ditenun. Â Harus ditenun oleh penenun dengan tingkat keahlian tertinggi, disebut "marpitu lili", menggunakan 7 lidi untuk variasi warna benang.
Ulos ragidup lazimnya dikenakan oleh "Suhut Sihabolonan" atau Tuan Rumah Utama, semisal orangtua mempelai laki-laki dalam sebuah upacara adat pernikahan. Dengan begitu dia ditempatkan pada posisi terhormat, dibedakan dengan sanak-saudaranya yang juga berstatus "suhut" dalam upacara tersebut.
Masuk di ruang "Kematian" (Death), dapat disaksikan jenis-jenis ulos yang lazim digunakan dalam ritus kematian. Di sini bisa dilihat ulos Gatip Ribu-ribu, Ragi Huting, Sibolang Pamontari, Jungkit, dan Ragidup. Sibolang lazim dikenakan pada jasad sebagai ulos "saput" (pakaian) untuk dibawa serta ke liang kuburan.
Semua ulos yang dipamerkan sangat indah motifnya dalam penglihatan mata lahir. Jujur, bagi saya ragam ulos itu sungguh mempesona, dari segi motif, warna, dan mutu tenunan. Semua ulos itu ditenun menggunakan benang katun halus terbaik.
Tambahan, saya mendapat kesempatan untuk melihat jenis-jenis ulos langka yang, terus terang, ini untuk pertama kalinya saya lihat. Sebut misalnya ulos Lobu-lobu, Simarpisoran, Ragi Huting, Padang Ursa, dan Gatip Ribu-ribu.
Kegagalan menunjukkan pesan simbolik itu itu terjadi, saya kira, karena pameran itu hanya menggolongkan ulos menurut penggunaaannya pada tahap-tahap kehidupan, dari lahir sampai mati. Sementara pesan simbolik, atau makna terdalam ulos, harus ditunjukkan dalam konteks komunikasi simbolik masyarakat Batak dalam tatatan Dalihan Na Tolu.Â
Tepatnya komunikasi simbolik antara Hula-hula, Boru, dan Dongan Tubu dalam sebuah ajang adat, semisal adat kelahiran, perkawinan, dan kematian. Hula-hula dan Boru itu mengenakan jenis ulos yang berbeda, memberikan jenis ulos yang berbeda, dan menerima jenis ulos yang berbeda pula.
Pemberian ulos oleh satu pihak ke pihak lain dalam upacara adat itu adalah doa dan harapan, yang diringkaskan dalam pesan "Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru" (Sembah/hormat pada hula-hula, hati-hati pada kerabat sedarah, kasih pada boru).
Konteks komunikasi, atau interaksi sosial keadatan, itulah yang tidak tersajikan dalam pameran "Ulos, Hangoluan, Tondi". Jadinya, pemeran ulos itu, setidaknya bagi saya, menjadi pameran ulos tanpa jiwa.Â
Risikonya, pameran seperti itu, khususnya di ruang "Kehidupan" (Life) yang memamerkan begitu banyak ulos dengan cara digantung, bisa terpeleset menjadi semacam "jemuran ulos".
Tapi saya kira, ini adalah permulaaan bagi Yayasan Del, yang menggandeng lembaga Tobatenun sebagai pendukung pameran. Pada pameran selanjutnya mungkin, ini harapan saya, Yayasan Del akan mendayagunakan konteks komunikasi Dalihan Natolu orang Batak. Untuk menampilkan jiwa pada setiap helai ulos Batak tersebut.
Pameran ini berlangsung di Museum Tekstil Jakarta dari tanggal 20 September sampai 7 Oktober 2018. Masih ada waktu bagi yang berminat untuk menyaksikannya. Dan mungkin perlu diingatkan, bolehlah bawa binokuler, karena keterangan yang dilekatkan pada ulos-ulos itu teknya kecil dan ada yang diposisikan terlalu tinggi sehingga tak terbaca.
Demikian ulasan saya, Felix Tani, petani mardijker, pernah meneliti kehidupan adat masyarakat Batak Toba.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H