Keluarga Nain bermukim di Gang Sapi sejak  1970-an. Tadinya tinggal di koridor barat Jalan Bangka Raya.  Tapi Nain menjual tanahnya kepada pendatang di situ. Lalu membeli sebidang kebun di lokasi Gang Sapi sekarang.
Keluarga Nain adalah satu dari banyak warga Betawi yang mundur dari koridor jalan utama, yaitu Buncit Raya (Mampang) dan Bangka Raya ( Kemang), ke daerah aliran sungai (bantaran) Kali Mampang.
Di Gang Sapi, Nain tinggal bersama isteri keduanya. Isteri pertama dan anak-anaknya bermukim di kampung lain.
Dari isteri keduanya, Naim mendapatkan empat orang anak, dua laki-laki (anak kedua dan keempat), Oji dan Oman, serta dua perempuan, Odah dan Leha.
Awal 1980-an, Nain menjual sebagian tanahnya, seluruhnya sekitar 500 meterxpersegi, kepada dua keluarga pendatang. Sebagian uang hasil penjualan dipakai untuk naik haji.
Untuk menafkahi keluarganya, Nain membuka warung kelontong di bagian depan rumahnya. Selain itu juga dia usaha jual-beli bahan bangunan bekas. Dan setiap menjelang Lebaran, menjual kambing kurban.
Secara ekonomi, keluarga Nain tergolong cukupan di Gang Sapi. Isterinya suka tampil di depan rumah dengan mengenakan kalung dan gelang emas secara menyolok.
Tapi keempat orang anak Nain hanya  bersekolah sampai tingkat SMP.  Nain berpandangan anak tak perlu sekolah tinggi. Yang penting bisa baca-tulis.
Pada tahun 19900, Nain menikahkan anak perempuan tertuanya, Odah, dengan seorang lelaki migran dari Indramayu. Pestanya cukup besar, pakai hiburan video dan dangdutan.
Tapi dua minggu kemudian menantunya menghilang dan tak pernah kembali lagi. Walau sudah disusuli ke Indramayu. Sekitar tujuh bulan setelah pesta nikah, anak perempuannya melahirkan seorang bayi perempuan.
Memasuki penghujung 1990-an, Nain mulai sakit-sakitan. Kata dokter menderita komplikasi penyakit paru-paru. Perlahan tapi pasti, tubuhnya semakin kurus, higgga seolah belulang dibungkus kulit.