Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Studi Kasus Selokan Gang Sapi di Jakarta (Bagian Pertama)

27 Agustus 2018   07:08 Diperbarui: 29 Agustus 2018   14:28 1304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Situasi Gang Sapi Jakarta suatu sore, Jumat 24 Agustus 2018 (Dokpri)

Hiruk-pikuk penanggulangan bau busuk Kali Item, Kemayoran, Jakarta, memicu satu pertanyaan riset sosial: Bagaimana proses polutan memasuki badan sungai di Jakarta?

Tentu sudah diketahui sumber utama polutan adalah limbah rumah tangga dan industri yang berada di bantaran atau daerah aliran sungai.

Ada sejumlah cara riset untuk mengetahui bagaimana limbah rumah tangga dan industri itu masuk ke sungai. Mulai dari survei selintas" sampai "survei longitudinal"; mulai dari "pengamatan sepintas" sampai "pengamatan mendalam".

Pilihan cara tergantung pada jawaban pertanyaan: Anda lebih percaya data kualitatif atau kuantitatif?

Saya lebih percaya data kualitatif, maka saya pilih satu cara yang berada dalam garis kontinuum "pengamatan sepintas -- pengamatan mendalam" yaitu studi kasus.

Tepatnya studi kasus sebuah selokan, karena tujuannya untuk memahami bagaimana proses limbah masuk sungai. Atau dengan kata lain proses pencemaran sungai.

Untuk mendapatkan pemahaman tentang keterkaitan kebijakan pemerintah dengan pencemaran sungai, maka saya melakukan studi kasus historis. 

Intinya, saya membanding kondisi selokan kasus sejak masa Gubernur Sutyoso (1997-2007), Fauzi Bowo (2007-2012), Jokowi/Ahok/Jarot (2012-2017), sampai Anies Baswedan (2017-kini).

Secara purposif saya telah memilih selokan Gang Sapi (pseudonim) di Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, sebagai unit kasus. 

Data kasus selokan ini saya kumpulkan melalui pengamatan lapangan dan wawancara informal. Juga memanfaatkan dokumen pemberitaan khusus untuk memperoleh data kebiakan pemerintah.

Setelah data diolah dan dianalisis, maka laporan hasil studi kasus itu secara ringkas adalah sebagai berikut.

Sekilas Gang Sapi

Gang Sapi adalah bagian dari sebuah perkampungan padat dan cukup kumuh.

Mayoritas penduduknya etnis Betawi. Mereka mundur ke belakang dari koridor Jalan Buncit Raya di timur dan Jalan Bangka Raya di barat, setelah menjual tanahnya di sana kepada pendatang atau pengusaha.

Warga selebihnya adalah migran dari Jawa Barat dan Jawa Tengah, lazimnya komuter.

Panjang Gang Sapi kurang-lebih 200 meter, dihitung dari mulut gang sampai gigir Kali Mampang. Kiri dan kanan gang disesaki rumah, mepet ke selokan, sehingga tidak menyisakan ruang pekarangan.

Karena tidak ada pekarangan, maka selain untuk akses lalu-lalang, Gang Sapi berfungsi juga sebagai arena bermain bagi anak-anak, dan arena sosialisasi untuk warga dewasa.

Aktivitas ekonomi warga terutama adalah sektor informal dan pekerja lapis bawah di perkantoran dan perusahaan. Sektor informal yang ditekuni antara lain warung kelontong, warung makan, warung bakso, warung sembako, warung sayuran, pengepul barang bekas, dan bensin ketengan.

Selain itu juga ada penjaja makanan keliling, antara lain cendol, gorengan, kupat sayur, nasi uduk, bubur ayam, mie ayam, dan mie "dokdok".

Di Gang Sapi terdapat pula dua unit industri rumahan seperti tahu atau tempe. Juga terdapat dua unit usaha ternak sapi skala rumah tangga dengan kandang yang berimpit dengan rumah warga.

Selokan Gang Sapi

Selokan Gang Sapi terentang sepanjang sisi luar gang, menyusur sekitar 300 meter dari mulut gang sampai ke badan Kali Mampang.

Bahan polutan yang mencemari Kali Mampang sejak masa kegubernuran Sutyoso (mulai 1997) sampai Anies Baswedan (sekarang) antara lain berasal dari selokan ini. Tapi dengan tingkat kontribusi yang berbeda antara satu dan lain masa kegubernuran.

Untuk menggambarkan perbandingan antar masa kegubernuran, saya akan paparkan secara ringkas di sini.

Satu: Dari masa kegubernuran Sutyoso sampai Fauzi Bowo (1997-2012)

Dua orang gubernur itu memerintah Jakarta selama total 15 tahun. Tapi selama itu tidak ada satupun kebijakan khusus terkait kebersihan lingkungan pemukiman dan badan sungai yang berimplikasi positif terhadap kondisi selokan Gang Sapi.

Selama 15 tahun itu selokan Gang Sapi berfungsi sebagai tempat pembuangan limbah: Limbah rumah tangga, perajin rahu-tempe, ternak sapi, warung makan, warung kelontong, sampai kotoran manusia masuk ke badan selokan.

Kotoran manusia? Benar. Karena dalam tahun-tahun itu masih ada saja anak kecil yang disuruh ibunya nongkrong buang hajat ke dalam selokan.

Satu-satunya program kebersihan dari pemerintah untuk Gang Sapi adalah kehadiran seorang "tukang sampah" kelurahan dengan gerobak yang ditarik pakai tenaga sendiri.

Bila tukang sampah itu datang, maka warga akan riuh menumpuk sampah rumah tangga dalam kantong plastik ke dalam gerobak hingga menjulang tinggi.

Tapi, masalahnya, tukang sampah ini belum tentu datang sekali dalam sebulan. Akibatnya, warga membuang sampah ke selokan agar tak menumpuk di depan atau belakang rumah mereka.

Maka jadilah selokan Gang Sapi menjadi "bak sampah" favorit bagi warga.

Inilah daftar sampah atau polutan yang masuk ke selokan Gang Sapi menurut catatan saya: kemasan air mineral, kemasan mie instan, kemasan minuman ringan, kemasan jajanan ringan, kotak makan sterofoam, kotak makan kertas, kantong plastik, kotoran sapi, ampas kedelai/tahu, kotoran sapi, dan sisa pakan sapi.

Juga limbah berikut: sisa makanan, sampah sayuran, kotak rokok, puntung rokok, limbah cucian, saset deterjen dan sabun colek, saset bubuk minuman, pembalut wanita, kemasan sampo, kertas bungkus makanan, bangkai tikus, buah busuk, kain gombal, dan kadang-kadang tinja manusia.

Pada saat musim hujan, limbah itu akan dibawa arus air selokan langsung ke Kali Mampang, menyumbang pencemaran di sana. Saat seperti itu juga menjadi kesempatan bagi warga untuk menambah volume buangan sampah ke selokan.

Tapi pada saat musim kemarau, sampah di selokan menumpuk, membendung aliran air. Akibatnya proses pembusukan limbah terjadi di selokan, menambah kadar kebauan sampah yang dasarnya sudah bau.

Air selokan menjadi hitam kental, dan bau busuk meruap parah ke udara. Warga yang besosialisasi di Gang Sapi kerap harus menutup hidung, sembari gosip tetap direproduksi dan diamplifikasi.

Jelas tidak ada mahluk hidup yang bertahan hidup dalam ekosistem mikro selokan semacam itu. Kecuali, tentu saja, aneka bakteri semisal bakteri pengurai (pembusuk) dan E. coli, serta lalat dan jentik-jentik.

Kendati kondisinya sudah parah begitu, karena tukang sampah kelurahan tak jelas kedatangannya, warga tetap membuang sampah ke selokan Gang Sapi.

Jika kondisi selokan sudah berlimbah sangat parah, barulah ada inisiatif Ketua RT menggerakkan kerjabakti. Tapi kerjabakti seperti itu belum tentu terjadi sekali dalam satu semester.

Maka selama 15 tahun masa ke-gubernur-an Sutyoso sampai Fauzi Bowo, selokan Gang Sapi telah menjadi indikator ketakpedulian pemerintah dan warga Jakarta terhadap kebersihan lingkungan, khususnya sanitasi dan kebersihan sungai.

Namun kondisi buruk itu mulai berubah dan kemudian berbalik drastis menjadi baik pada masa kegubernuran Jokowi/Ahok/Jarot.

Apa yang telah dilakukan Jokowi/Ahok/Jarot untuk membalik keadaan?

(Bersambung ke Bagian Kedua)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun