Juga limbah berikut: sisa makanan, sampah sayuran, kotak rokok, puntung rokok, limbah cucian, saset deterjen dan sabun colek, saset bubuk minuman, pembalut wanita, kemasan sampo, kertas bungkus makanan, bangkai tikus, buah busuk, kain gombal, dan kadang-kadang tinja manusia.
Pada saat musim hujan, limbah itu akan dibawa arus air selokan langsung ke Kali Mampang, menyumbang pencemaran di sana. Saat seperti itu juga menjadi kesempatan bagi warga untuk menambah volume buangan sampah ke selokan.
Tapi pada saat musim kemarau, sampah di selokan menumpuk, membendung aliran air. Akibatnya proses pembusukan limbah terjadi di selokan, menambah kadar kebauan sampah yang dasarnya sudah bau.
Air selokan menjadi hitam kental, dan bau busuk meruap parah ke udara. Warga yang besosialisasi di Gang Sapi kerap harus menutup hidung, sembari gosip tetap direproduksi dan diamplifikasi.
Jelas tidak ada mahluk hidup yang bertahan hidup dalam ekosistem mikro selokan semacam itu. Kecuali, tentu saja, aneka bakteri semisal bakteri pengurai (pembusuk) dan E. coli, serta lalat dan jentik-jentik.
Kendati kondisinya sudah parah begitu, karena tukang sampah kelurahan tak jelas kedatangannya, warga tetap membuang sampah ke selokan Gang Sapi.
Jika kondisi selokan sudah berlimbah sangat parah, barulah ada inisiatif Ketua RT menggerakkan kerjabakti. Tapi kerjabakti seperti itu belum tentu terjadi sekali dalam satu semester.
Maka selama 15 tahun masa ke-gubernur-an Sutyoso sampai Fauzi Bowo, selokan Gang Sapi telah menjadi indikator ketakpedulian pemerintah dan warga Jakarta terhadap kebersihan lingkungan, khususnya sanitasi dan kebersihan sungai.
Namun kondisi buruk itu mulai berubah dan kemudian berbalik drastis menjadi baik pada masa kegubernuran Jokowi/Ahok/Jarot.
Apa yang telah dilakukan Jokowi/Ahok/Jarot untuk membalik keadaan?
(Bersambung ke Bagian Kedua)