Istilah "pembangunan semu" merujuk pada fakta tidak adanya kemajuan jika dihitung secara keseluruhan, tapi ada fakta kemajuan jika dihirung secara parsial.
Contoh gampangnya, program bantuan langsung tunai untuk keluarga miskin. Itu meningkatkan daya beli keluarga miskin, tetapu tidak meningkatkan pendapatan nasional. Karena sifatnya tidak  menciptakan pendapatan baru.
Maka peningkatan daya beli keluarga miskin itu sejatinya semu. Tidak mencerminkan pendapatan yang dihasilkan sendiri. Â
Dengan kata lain, tidak ada pertumbuhan. Ada gerakan hebat, tapi seperti orang lari di tempat saja. Stagnan.
Gejala pembangunan semu itulah yang kini teramati di Jakarta, hampir setahun masa kegurbernuran Pak Anies Baswedan berlalu.
Saya hendak tunjukkan dengan menampilkan beberapa kasus "program" pembangunan.
Penataan PKL
Pertama, penataan PKL. Niatnya memberdayakan golongan ekonomi lemah perkotaan di Jakarta. Â
Kasus penataan PKL di Tanahabang adalah kasus bagus untuk pembangunan semu. Menempatkan PKL di badan jalan Jatibaru tidak meningkatkan status PKL itu. Mereka tetap PKL yang informal, tidak punya status hukum yang definitif.
Tanpa pengakuan pada PKL sebagai usaha formal, tetap saja mereka periferal. Â Tidak punya kekuatan hukum untuk pengajuan kredit usaha kecil ke bank misalnya. Rawan terhadap pungli dan sewaktu-waktu bisa saja digusur.
Jadi keberadaan PKL di jalan Jatibaru itu adalah suatu capaian semu. Kelihatannya di permukaan PKL dimuliakan. Padahal sejatinya mereka "masih seperti yang dulu".
Sistem  Ganjil-Genap
Kedua, perluasan sistem  ganjil-genap lalu-lintas Jakarta. Tadinya hanya sebatas Sudirman-Thamrin, Gatot Subrota, dan Rasuna Said. Sekarang sampai ke Haryono, Panjaitan, Kartini, Pondok Indah, S. Parman, dan Benyamin Suaeb. Â
Tadinya kebijakan ganjil-genap tadinya dimaksudkan Pak Ahok sebagai transisi menuju sistem jalan berbayar. Sambil menunggu MRT dan LRT operasional.
Nah, perluasan sistem ganjil-genap itu diklaim mengurangi kemacetan secara signifikan. Ya, tentu saja begitu di ruas-ruas jalan ganjil-genap.
Tapi coba lihat kondisi jalan-jalan alternatif. Â Kemacetan bertamvah parah. Jadi kalau dihitung secara agregat Jakarta, tingkat kemacetan sebenarnya tidak berubah.
Ini hanya memindahkan kemacetan dari jalan-jalan utama ke jalan-jalan alternatif. Artinya, kelancaran di jalan-jalan utama itu bersifat semu. Sekali sistem ganjil-genap dihapus, jalanan pasti macet lagi.
Hanya kalau sistem transportasi publik midern terinregrasi yang pernah dijanjikan Pak Anies bida direalisir, barulah ada harapan kemacetan akan berkurang.
Naturalisasi Sungai
Ketiga, penataan daerah aliran sungai. Pak Anies menjanjikan naturalisasi sungai, istilah lain untuk normalisasi sungai era Ahok. Dengan naturalisasi sungai, yang dibayangkan adalah pemulihan ekosistem sungai menjadi alami seperti semula.
Sebagai hasilnya, bayangkanlah sungai-sungai berair jernih dan bersih serta tak berbau di Jakarta. Â
Tapi itu uma bayangan. Faktanya tidak ada naturalisasi sungai di Jakarta. Â
Yang ada justru "waringisasi" sungai, sekaligus penggunaan teknologi nano buble dan yeknologi mikroba untuk menghilangkan bau Kali Item. Jadi bukan madalah pencemarannya yang diatasi melainkan masalah  bau busuk yang menyeruak ke Wasma Atlet Kemayoran.
Kalau sekarang Kali Item tak bau lagi, maka itu capaian semu. Begitu efek nano buble dan mikroba habis, dan selubung  waring dibuka, maka bau Kali Item akan menyeruak kembali. Â
Sebab masalah utamanya, yaitu pencemaran badan sungai oleh limbah domestik dan industri kecil/rumahan, tidak teratasi. Â
***
Tiga kasus di atas cukup untuk menarik kesimpulan adanya gejala pembangunan semu di Jakarta. Â
Intinya kini Jakarta hanya berlari heboh di tempat, tidak bergerak maju. Fakta kemajuan yang tampak adalah kondisi semu, tidak mencerminkan kondisi sebenarnya.
Bukan sebuah kebetulan bahwa Pemda Jakarta kini sangat gencar  dengan  program biutifikasi Jakarta. Itu kata lain untuk kamuflase, menyembunyikan kekumuhan di balik aneka gambar warna-warni ceria.
Yah, mau bagaimana lagi. Pak Gubernur lebih "gemar menggambar dan mewarnai", ketimbang membangun dinding-dinding baru. Mungkin begitulah :"Jakarta yang Baru" Â yang dijanjilan Pak Anies.
Itulah pendapat saya, Felix Tani, petani mardijker, tidak suka pada kesemuan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H