Apakah kemampuan teknis Timnas U-16 Indonesia, secara tim ataupun individu, berada di atas tim lawan khususnya Timnas U-16 Vietnam, Malaysia, dan Thailand? Â
Menurut pengamatan saya, sebagai penonton setia di depan TV, "Tidak". Level tim-tim itu relatif sama, khususnya dengan tiga tim tersebut di atas?
Lantas, kalau begitu, mengapa Timnas Indonesia selalu memenangi pertandingan hingga lolos ke final Piala AFF 2018 U-16 untuk kemudian tampil sebagai juara, setelah keunggulan dramatis atas  Timnas Thailand?
Jawabannya, menurut saya, terletak  pada semangat mereka dalam memainkan sepakbola. Beda dengan tim lawan yang memainkan sepakbola sebagai "pertempuran", Timnas Indonesia memainkannya sebagai "permainan". It's just a game not a battle.
Jika sebuah tim memainkan sepakbola sebagai pertempuran, maka para pemain tidak akan pernah gembira bermain. Tim akan memainkan strategi pelatih secara kaku, sebagai  cara tunggal  memenangi pertempuran.  Di luar itu, berarti "mbalelo".
Memainkan sepakbola sebagai pertempuran, berarti bermain tanpa inovasi spontan di lapangan. Pemain tegang, takut salah, karena ini soal hidup atau mati. Â
Contoh terbaik  tim yang memainkan sepakbola sebagai pertempuran adalah Timnas Argentina di ajang Piala Dunia 2018 yang baru lewat. Awalnya tim itu mengikuti strategi pelatih secara spartan. Â
Hasilnya Timnas Argentina  tak pernah menang.  Setelah  Messi dan kawan-kawannya "mbalelo", barulah  tim ini bisa menang. Â
Lawan-lawan Timnas U-16 Indonesia yang sudah kalah dalam gelaran Piala AFF 2018, kurang lebih kondisinya seperti Timnas Argentina itulah. Monoton, buntu, lelah, dan frustasi.
Barang siapa bertempur, maka dia akan kehabisan tenaga pada akhirnya. Tapi barang siapa bermain, maka dia tak akan pernah kehabisan tenaga sampai akhir.
Lihatlah anak-anak. Apakah pernah lelah bermain? Tidak. Sebab bermain adalah passion mereka. Maka tak ada kata lelah lalu berhenti. Â
Energinya tak pernah habis untuk bermain. Mereka  berhenti hanya setelah ibu datang menarik kupingnya untuk pulang ke rumah.
Semangat "sepakbola adalah permainan" itulah yang menjiwai Timnas Indonesia dalam setiap pertandingan.Â
Saya melihat kesebelasan Indonesia bermain sepakbola seperti main galasin. Â Dengan pola galasin itu, saat bertahan setiap anggota tim menjaga garis pertahanan agar tidak dilewati bola yang dikendalikan pemain "lawan". Â
Sebaliknya, saat menyerang, anggota tim saling dukung untuk mengalirkan bola menembus garis pertahanan "lawan". Targetnya melewati garis terakhir pertahanan "lawan", garis gawang.
Itu yang dilakukan berulang-ulang, tapi setiap kali dengan cara yang berbeda. Mengikuti kreativitas pemain, secara tim maupun individu.
Maka, seperti telah dipertunjukkan, David Maulana dan kawan-kawannya di Timnas U-16 bermain  gembira tanpa lelah pada setiap pertandingan. Â
Bahkan saat di final mereka ditahan imbang 1-1 oleh Timnas Thailand, mereka tetap gembira bermain. Â Supriadi tetap seperti anak kijang yang sulit dihentikan. Bagus merasa keren dengan perban melilit kepalanya. Â Ernando tetap seperti Spiderman di mulut gawangnya. Â
Begitulah. Menonton Timnas U-16 Indonesia bermain, saya menemukan kembali semangat yang telah hilang dalam sepakbola modern. Â Maksud saya, sepakbola profesional. Tepatnya sepakbola bisnis. Â
Dalam sepakbola bisnis, seperti di liga-liga Eropa dan juga Indonesia, setiap pemain adalah karyawan, untuk tidak mengatakan buruh.Â
Sebab dalam sepakbola modern, sebuah tim sepakbola adalah sebuah perusahaan kapitalis yang dikelola dengan prinsip-prinsip manajemen bisnis. Dihitung modal, biaya operasi, dan untung-ruginya.
Maka setiap pemain dituntut untuk "bertempur" di lapangan, demi mencapai target-target bisnis perusahaannya. Mereka adalah "serdadu bayaran" yang dituntut memenangi pertempuran. Kalau perlu, dengan cara-cara yang anti "fair play".Â
Tapi tidak begitu dengan Timnas U-16 Indonesia. Mereka bukan serdadu, melainkan"anak-anak yang gembira bermain sepakbola", selayaknya main galasin di bawah terang purnama.
Kegembiraan yang saling-sambut dengan luapan penonton di Stadion Sidoarjo. Khususnya saat "Garuda Clap" dipanggungkan, baik oleh penonton sendiri, maupun penonton bersama pemain di tiap akhir pertandingan.
Itulah bentuk komunikasi terintim antara penonton dengan pemain, yang tidak ditemukan lagi dalam sepakbola bisnis. Komunikasi yang menambah energi pada diri pemain secara terus-menerus. Karena di situ ada cinta.
Perhatikan bahwa para penonton tidak langsung beranjak keluar dari stadion setelah pertandingan usai. Lihat juga bahw  anak-anak Timnas U-16 itu tidak pergi ke ruang ganti, tapi duduk membuka sepatu  di pinggir lapangan seusai tanding, Â
Itu pernyataan cinta yang paling gamblang antara penonton dan pemain. Satu sama lain tidak saling meninggalkan.
Saya sungguh berharap, anak-anak Timnas U-16 Indonesia tidak terkontaminasi oleh semangat "sepakbola adalah pertempuran". Tidak terkontaminasi oleh nilai-nilai bisnis sepakbola kapitalistik.
Jika anak-anak Timnas U-16 itu tetap menjiwai semangat "sepakbola adalah permainan", seperti layaknya permainan galasin, maka gelar juara dunia tinggal tunggu waktu saja.
Setidaknya begitulah mimpi saya, Felix Tani, petani mardijker, pecinta sepakbola yang tak bisa main bola.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H