Tapi tidak begitu dengan Timnas U-16 Indonesia. Mereka bukan serdadu, melainkan"anak-anak yang gembira bermain sepakbola", selayaknya main galasin di bawah terang purnama.
Kegembiraan yang saling-sambut dengan luapan penonton di Stadion Sidoarjo. Khususnya saat "Garuda Clap" dipanggungkan, baik oleh penonton sendiri, maupun penonton bersama pemain di tiap akhir pertandingan.
Itulah bentuk komunikasi terintim antara penonton dengan pemain, yang tidak ditemukan lagi dalam sepakbola bisnis. Komunikasi yang menambah energi pada diri pemain secara terus-menerus. Karena di situ ada cinta.
Perhatikan bahwa para penonton tidak langsung beranjak keluar dari stadion setelah pertandingan usai. Lihat juga bahw  anak-anak Timnas U-16 itu tidak pergi ke ruang ganti, tapi duduk membuka sepatu  di pinggir lapangan seusai tanding, Â
Itu pernyataan cinta yang paling gamblang antara penonton dan pemain. Satu sama lain tidak saling meninggalkan.
Saya sungguh berharap, anak-anak Timnas U-16 Indonesia tidak terkontaminasi oleh semangat "sepakbola adalah pertempuran". Tidak terkontaminasi oleh nilai-nilai bisnis sepakbola kapitalistik.
Jika anak-anak Timnas U-16 itu tetap menjiwai semangat "sepakbola adalah permainan", seperti layaknya permainan galasin, maka gelar juara dunia tinggal tunggu waktu saja.
Setidaknya begitulah mimpi saya, Felix Tani, petani mardijker, pecinta sepakbola yang tak bisa main bola.***