Energinya tak pernah habis untuk bermain. Mereka  berhenti hanya setelah ibu datang menarik kupingnya untuk pulang ke rumah.
Semangat "sepakbola adalah permainan" itulah yang menjiwai Timnas Indonesia dalam setiap pertandingan.Â
Saya melihat kesebelasan Indonesia bermain sepakbola seperti main galasin. Â Dengan pola galasin itu, saat bertahan setiap anggota tim menjaga garis pertahanan agar tidak dilewati bola yang dikendalikan pemain "lawan". Â
Sebaliknya, saat menyerang, anggota tim saling dukung untuk mengalirkan bola menembus garis pertahanan "lawan". Targetnya melewati garis terakhir pertahanan "lawan", garis gawang.
Itu yang dilakukan berulang-ulang, tapi setiap kali dengan cara yang berbeda. Mengikuti kreativitas pemain, secara tim maupun individu.
Maka, seperti telah dipertunjukkan, David Maulana dan kawan-kawannya di Timnas U-16 bermain  gembira tanpa lelah pada setiap pertandingan. Â
Bahkan saat di final mereka ditahan imbang 1-1 oleh Timnas Thailand, mereka tetap gembira bermain. Â Supriadi tetap seperti anak kijang yang sulit dihentikan. Bagus merasa keren dengan perban melilit kepalanya. Â Ernando tetap seperti Spiderman di mulut gawangnya. Â
Begitulah. Menonton Timnas U-16 Indonesia bermain, saya menemukan kembali semangat yang telah hilang dalam sepakbola modern. Â Maksud saya, sepakbola profesional. Tepatnya sepakbola bisnis. Â
Dalam sepakbola bisnis, seperti di liga-liga Eropa dan juga Indonesia, setiap pemain adalah karyawan, untuk tidak mengatakan buruh.Â
Sebab dalam sepakbola modern, sebuah tim sepakbola adalah sebuah perusahaan kapitalis yang dikelola dengan prinsip-prinsip manajemen bisnis. Dihitung modal, biaya operasi, dan untung-ruginya.
Maka setiap pemain dituntut untuk "bertempur" di lapangan, demi mencapai target-target bisnis perusahaannya. Mereka adalah "serdadu bayaran" yang dituntut memenangi pertempuran. Kalau perlu, dengan cara-cara yang anti "fair play".Â