Beda pendapat antara Gubernur Anies  dan Wagub Sandiaga soal rumput dan halte di trotoar Jalan Sudirman menyiratkan rivalry laten antara keduanya.
Beda pendapat seperti itu bukan yang pertama. Tapi kasus  rumput dan halte itu menarik dijadikan kasus uuntuk ditafsir.
Bukan saja karena menyiratkan rivalry dengan terang dan lucu. Tapi juga karena kasus itu mencerminkan buruknya manajemen anggaran.
Jika bicara rivalry, maka tak relevan bicara koordinasi antara Anies dan Sandi. Yang ada juga saling intip, cepat-cepatan untuk menjadi yang pertama tampil ke ruang publik, memanggungkan "kekuasaan", melalui ujaran ataupun aksi.
Substansi rivalry itu adalah kepentingan untuk memanggungkam kelayakan masing-masing sebagai Gubernur Jakarta.
Maka sejak hari pelantikan sampai hari ini, yang teramati di permukaan adalah gejala "matahari kembar" di Jakarta.  Ada gubernur asli, Anies Baswedan  dan ada gubernur semu, Sandiaga.
Rivalry laten itu sudah terbaca sejak masa kampanye Pilgub 2017. Sebab sedari awal, Sandiagalah yang berambisi menjadi Gubernur Jakarta. Â
Yang muncul ke permukaan (manifest) kemudian adalah perbedaan atau silang pendapat antara keduanya di ruang publik.
Silang keputusan terkait penanaman rumput di trotoar Sudirman, yang menutup akses penumpang dari halte ke bus, adalah pemanggungan rivalry laten itu.
Setelah diprotes warga penumpang bus, yang merasa disulitkan, Sandiaga memutuskan "halte akan dipindah". Â Tak mau kalah, Anies kemudian memutuskan "rumput akan dipindah". Â
Mana putusan terbaik? Tidak ada. Dua-duanya sama sangat buruk dan seharusnya tidak perlu, andai  antara keduanya ada koordinasi, bukan rivalry.