Dalam artikel sebelum ini, ketika menyimpulkan muatan berlebih pada kapal rakyat di Danau Toba bukan kebiasaan tapi penyimpangan, saya sedikit berteori bahwa hal itu menunjuk pada buah gejala anomie (kompasiana.com, 7/7/18).
Gejala anomie sederhananya menunjuk pada keadaan "tanpa hukum" (a-nomos). Dalam kasus pelayaran di perairan Danau Toba, itu berarti tidak ada hukum yang berlaku efektif mengaturnya.
Karena tidak ada hukum yang efektif berlaku, maka nakhoda dan penumpang membuat konsensus informal bahwa kapal boleh bermuatan lebih, bahwa alat navigasi tidak diperlukan, bahwa alat keselamatan tidak dibutuhkan, dan lain sebagainya.
Hukum yang dimaksud di sini mencakup, pertama, hukum positif terkait transportasi air di danau. Bukannya tidak ada hukumnya, dalam bentuk peraturan pelayaran. Hukum ada, tapi tidak hidup, tidak ditegakkan.
Bukannya tidak ada aparat untuk penegakan hukum. Ada petugas seperti syahbandar, tapi tidak menjalankan tugas penegakan aturan keamanan pelayaran kapal danau.
Terbukti di Danau Toba kapal penumpang tua, tanpa kelengkapan alat navigasi, tanpa kelengkapan alat keselamatan, tanpa jaminan laik layar kapal, tanpa sertifikasi kompetensi nakhoda, bebas berlayar dengan kondisi muatan berlebih.
Terbukti kasus-kasus kecelakaan kapal tenggelam di Danau Toba selalu berpangkal pada kondisi-kondisi tanpa kontrol hukum di atas.
Selain hukum positif, ini yang kedua, juga tidak hidup suatu hukum adat masyarakat hukum adat Batak setempat, yang mengatur kegiatan pelayaran di Danau Toba.
Saya kira bukannya tidak ada hukum adat yang mengaturnya. Tapi masyarakat setempat memang tidak lagi mempedulikannya. Juga tak ada ikhtiar para pemuka adat setempat untuk menggalinya.
Bahwa ada kepercayaan setempat tentang eksistensi Boru Saniang Naga sebagai Dewi Penguasa Danau Toba, itu sudah indikasi adanya aturan-aturan adat setempat mengenai perlakuan pada dan kegiatan di perairan danau.
Semisal larangan buang hajat dan buang sampah ke danau, pantangan berujar kotor dan sombong, serta larangan bertindak salah saat berkegiatan di perairan.
Tidak melengkapi kapal dengan alat navigasi dan alat keselamatan, dan bersengaja menampung muatan berlebih, jelas adalah tindakan salah yang mestinya diganjar sanksi adat.
Masyarakat hukum adat Batak Toba misalnya sejak lama mengenal pranata "onan na marpatik" (pasar yang berhukum). Intinya, pasar hanyalah untuk transaksi jual-beli, tidak boleh ada kejahatan. Misalkan ada pencurian di pasar, maka pelakunya langsung diadili dan divonis raja- raja masyarakat adat saat itu juga.
Hal serupa mestinya berlaku juga untuk Danau Toba, dengan menjadikannya sebagai "tao na marpatik" (danau yang berhukum). Artinya, ada hukum adat yang mengatur perilaku dalam penggunaan danau berikut perangkat penegakannya.
Ringkasnya, dua hukum tadi, hukum positif dan hukum adat terkait pelayaran di Danau Toba, wajib ditegakkan secara konsisten.
Hukum positif sudah ada. Tinggal penegakannya secara ketat oleh aparat yang berwajib. Artinya negara harus hadir di perairan Danau Toba dalam wujud birokrasi legal formal yang netral, impersonal, dan profesional.
Yang masih memerlukan penggalian dan perumusan kembali adalah hukum adat. Urusan ini bisalah diserahkan pada pemuka-pemuka adat Batak (Toba, Pakpak, Karo, Simalungun) di lingkar Danau Toba.Tugas mereka untuk menghadirkan kuasa adat di Danau Toba.
Jika dua jenis hukum tersebut tidak ditegakkan, atau tidak hidup, maka gejala anomie akan tetap berlanjut. Jika demikian maka pada gilirannya kapal akan tenggelam lagi di Danau Toba karena sebab dan dengan cara yang sama dari masa ke masa.
Begitu urun rembuk dari saya, Felix Tani, petani mardijker pengagum Danau Toba.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H