Tidak melengkapi kapal dengan alat navigasi dan alat keselamatan, dan bersengaja menampung muatan berlebih, jelas adalah tindakan salah yang mestinya diganjar sanksi adat.
Masyarakat hukum adat Batak Toba misalnya sejak lama mengenal pranata "onan na marpatik" (pasar yang berhukum). Intinya, pasar hanyalah untuk transaksi jual-beli, tidak boleh ada kejahatan. Misalkan ada pencurian di pasar, maka pelakunya langsung diadili dan divonis raja- raja masyarakat adat saat itu juga.
Hal serupa mestinya berlaku juga untuk Danau Toba, dengan menjadikannya sebagai "tao na marpatik" (danau yang berhukum). Artinya, ada hukum adat yang mengatur perilaku dalam penggunaan danau berikut perangkat penegakannya.
Ringkasnya, dua hukum tadi, hukum positif dan hukum adat terkait pelayaran di Danau Toba, wajib ditegakkan secara konsisten.
Hukum positif sudah ada. Tinggal penegakannya secara ketat oleh aparat yang berwajib. Artinya negara harus hadir di perairan Danau Toba dalam wujud birokrasi legal formal yang netral, impersonal, dan profesional.
Yang masih memerlukan penggalian dan perumusan kembali adalah hukum adat. Urusan ini bisalah diserahkan pada pemuka-pemuka adat Batak (Toba, Pakpak, Karo, Simalungun) di lingkar Danau Toba.Tugas mereka untuk menghadirkan kuasa adat di Danau Toba.
Jika dua jenis hukum tersebut tidak ditegakkan, atau tidak hidup, maka gejala anomie akan tetap berlanjut. Jika demikian maka pada gilirannya kapal akan tenggelam lagi di Danau Toba karena sebab dan dengan cara yang sama dari masa ke masa.
Begitu urun rembuk dari saya, Felix Tani, petani mardijker pengagum Danau Toba.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H