Membaca rangkaian artikel rekan Tilaria Padika (TP) terkait dan tentang festival pangan lokal di Desa Oh'aem I, Amfoang Selatan, Kupang di Pulau Timor baru-baru ini, saya jadi teringat pengakuan Pak Daniel Woda Palle, mantan Bupati Sikka (1977-1988), suatu hari di tahun 1991.
Waktu itu, di kampus Universitas Cendana, saya sedang memaparkan persoalan lambatnya perkembangan pertanian padi di Kabupaten Ende di satu sisi dan kecenderungan menurunnya pertanian jagung di lain sisi.
Pada saat bersamaan peternakan sapi juga menurun, akibat larangan melepas ternak untuk mengamankan lahan pertanian padi sawah yang bersifat terbuka. Pertanian Ende waktu itu sedang bertransformasi dari "kebun jagung berpagar" ke "sawah terbuka", sementara peternakan bertransformasi dari "sistem lepas" ke "sistem kandang".
Proses transformasi agro-ekologi itu berlangsung dalam konteks implementasi Operasi Nusa Makmur, kebijakan dan program pembangunan pertanian pangan yang digagas dan dijalankan Gubernur NTT, Ben Mboi tahun 1980-an.
Saya sebenarnya menguraikan perubahan-perubahan agro-ekologis itu dalam upaya menjelaskan persoalan kemiskinan yang masih mendera Kabupaten Ende waktu itu. Maka ketika Pak Dan, begitu panggilan akrab Pak Daniel WP, angkat tangan minta bicara, dalam posisinya sebagai Wakil Ketua Bappeda NTT waktu itu, saya sempat menduga beliau akan membantah paparan saya.
"Saya merasa bersalah pada petani Sikka," kata Pak Dan memulai tanggapannya dengan pernyataan mengagetkan.
Lanjutnya, "Saya merasa bersalah sebagai Bupati Sikka dulu menyuruh petani beralih ke pertanian padi sawah. Jika sampai hari ini mereka belum juga menjadi petani sawah yang maju, maka itu bukan salah mereka. Sejak dahulu, petani Sikka adalah petani jagung yang hebat. Seharusnya, saya dulu mendorong mereka untuk menjadi petani jagung modern, bukan memaksanya menjadi petani padi sawah."
Tanggapan Pak Dan mengagetkan saya sebab waktu itu Presiden Soeharto sangat fanatik dengan kebijakan "swasembada pangan adalah swasembada beras".
Makna politik swasembada beras adalah penegakan hegemoni beras atas ragam bahan pangan lain. Bahan pangan lain hanya boleh untuk diversifikasi dalam arti variasi. Upaya menjadikan bahan pangan non-padi, seperti jagung, sagu, dan ubi, sebagai pangan pokok pengganti beras adalah pemberontakan. Harus ditumpas.
Kalau boleh sedikit hiperbolik, rezim Orde Baru secara terselubung sebenarnya telah menambahkan satu frasa lagi pada Sumpah Pemuda, yaitu "berpangan satu, beras Indonesia". Sebab dengan program swasembada beras, beras yang sejatinya adalah pangan asli Jawa-Bali, Sumatera, dan Sulawesi telah diangkat kelasnya menjadi "pangan nasional". Sejak itu pangan lain non-beras menjadi terpinggirkan dengan sebutan "pangan lokal".
Bahkan beras telah digunakan sebagai indikator kemiskinan, dengan cara mengukur tingkat pendapatan dalam nilai setara beras. Implisit di situ hendak dikatakan yang makan beras adalah orang kaya. Sebaliknya yang makan non-beras adalah orang miskin. Begitulah penduduk NTT disebut miskin karena konsumsi berasnya rendah.
Memang ada benarnya simpulan rekan TP bahwa beras menjadi pangan pokok nasional karena "kemudahan memperoleh, mengolah, dan menyajikannya". Tapi itu harus dipahami dalam konteks penegakan hegemoni beras sebagai "pangan nasional". Hampir seluruh sumber daya pertanian pangan di masa Orde Baru dialokasikan untuk modernisasi pertanian padi dan pembangunan kelembagaan pangan beras antara lain Bulog.
Misalkan sumberdaya yang sama waktu itu dialokasikan misalnya untuk modernisasi pangan jagung, atau sagu, atau sorgum, atau ubi jalar, maka salah satunya mungkin kini sudah menjadi "pangan pokok" nasional yang mudah diperoleh, diolah, dan disajikan. Berkat kemajuan teknologi produksi, penyimpanan, dan pengolahan pangan itu, tentu saja.
Tapi itu tak pernah terjadi. Sampai hari ini, sekurangnya. Tidak juga di NTT yang penduduknya masih dipasok "beras sejahtera" (rastra) oleh Bulog, bila ada indikasi "rawan pangan". Catat, dipasok beras, bukan jagung atau sorgum, misalnya. Apalagi kacang kratok yang harus direbus 12 kali 1 jam lamanya, untuk menghilangkan kandungan racunnya.
Jadi ungkapan "rasa bersalah" Pak Dan tadi pada akhirnya lebih pas dipahami sebagai otokritik birokrat lokal terhadap kebijakan swasembada beras. Sebab kebijakan itu menegakkan hegemoni beras sebagai pangan nasional terhadap pangan non-beras yang diposisikan sebagai pangan lokal, tak terkecuali di NTT.
Maka bila kini orang NTT, dan juga sebenarnya ragam etnik di seantero Nusantara, berupaya mempromosikan kembali "pangan asli" (pangan lokal) mereka, hal itu tepatlah dipahami sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni beras sebagai "pangan nasional". Perlawanan setelah hampir setengah abad "pangan asli" (lokal) tersubordinasi, terdesak ke pinggiran, bahkan nyaris dilupakan.
Tapi festival "pangan lokal" semacam di Oh'aem I itu, kendati sudah keenam kalinya, bukanlah indikasi kebangkitan pangan lokal untuk menegakkan kedaulatan atas "penjajahan beras". Festival semacam itu hanyalah "peristiwa pangan", tepatnya sebuah pemanggungan kekayaan pangan lokal, untuk sebagian mungkin hasil penggalian ke masa lalu.
Lazim peristiwa festival semacam itu hanya berakhir dengan sebuah decak kagum, sambil bergumam "Alangkah kayanya khasanah pangan lokal". Atau seperti kesan rekan TP sepulang dari Oh'aem I, "Betapa kaya negeri kita." Setelah itu, lalu apa? Tunggu festival berikutnya?
Pemulihan kedaulatan pangan lokal NTT, juga daerah lain, sejatinya tidak sekadar kembali ke bahan pangan asli setempat. Tapi lebih mendasar lagi kembali ke "inti budaya lokal", yang telah lama tersubordinasi oleh "inti budaya" pertanian padi sawah. Ini memang masalah ekologi budaya. Inti budaya NTT adalah pertanian lahan kering, dengan tanaman pangan utama jagung, sorgum, dan kekacangan. Maka NTT mesti kembali ke inti budayanya itu.
Kini sejumlah komunitas lokal, termasuk rekan TP di dalamnya, saya kira sedang berontak memperjuangkan kedaulatan pangan lokalnya. Tapi saya kira mereka masih berjuang sendiri. Belum mendapat dukungan serius dari pemerintah daerah yang lebih gemar menggelar festival pangan. Ketimbang mengubah kebijakan pertanian dan pangan untuk memfasilitasi kedaulatan pangan asli atau lokal.
Jadi, apakah pangan lokal NTT akan berdaulat kembali, tergantung pada komitmen politik dan budaya masyarakat bersama pemerintah di sana. Saya percaya, apabila kedaulatan pangan lokal NTT, juga daerah lain, dapat ditegakkan, niscaya istilah rawan pangan akan hilang dari "kamus pangan" NTT. Tidak mudah diwujudkan. Tapi pasti bisa, lagi pula waktu masih banyak.
Itu harapan saya, Felix Tani, petani padi yang mendukung kedaulatan pangan non-beras.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H