Memang ada benarnya simpulan rekan TP bahwa beras menjadi pangan pokok nasional karena "kemudahan memperoleh, mengolah, dan menyajikannya". Tapi itu harus dipahami dalam konteks penegakan hegemoni beras sebagai "pangan nasional". Hampir seluruh sumber daya pertanian pangan di masa Orde Baru dialokasikan untuk modernisasi pertanian padi dan pembangunan kelembagaan pangan beras antara lain Bulog.
Misalkan sumberdaya yang sama waktu itu dialokasikan misalnya untuk modernisasi pangan jagung, atau sagu, atau sorgum, atau ubi jalar, maka salah satunya mungkin kini sudah menjadi "pangan pokok" nasional yang mudah diperoleh, diolah, dan disajikan. Berkat kemajuan teknologi produksi, penyimpanan, dan pengolahan pangan itu, tentu saja.
Tapi itu tak pernah terjadi. Sampai hari ini, sekurangnya. Tidak juga di NTT yang penduduknya masih dipasok "beras sejahtera" (rastra) oleh Bulog, bila ada indikasi "rawan pangan". Catat, dipasok beras, bukan jagung atau sorgum, misalnya. Apalagi kacang kratok yang harus direbus 12 kali 1 jam lamanya, untuk menghilangkan kandungan racunnya.
Jadi ungkapan "rasa bersalah" Pak Dan tadi pada akhirnya lebih pas dipahami sebagai otokritik birokrat lokal terhadap kebijakan swasembada beras. Sebab kebijakan itu menegakkan hegemoni beras sebagai pangan nasional terhadap pangan non-beras yang diposisikan sebagai pangan lokal, tak terkecuali di NTT.
Maka bila kini orang NTT, dan juga sebenarnya ragam etnik di seantero Nusantara, berupaya mempromosikan kembali "pangan asli" (pangan lokal) mereka, hal itu tepatlah dipahami sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni beras sebagai "pangan nasional". Perlawanan setelah hampir setengah abad "pangan asli" (lokal) tersubordinasi, terdesak ke pinggiran, bahkan nyaris dilupakan.
Tapi festival "pangan lokal" semacam di Oh'aem I itu, kendati sudah keenam kalinya, bukanlah indikasi kebangkitan pangan lokal untuk menegakkan kedaulatan atas "penjajahan beras". Festival semacam itu hanyalah "peristiwa pangan", tepatnya sebuah pemanggungan kekayaan pangan lokal, untuk sebagian mungkin hasil penggalian ke masa lalu.
Lazim peristiwa festival semacam itu hanya berakhir dengan sebuah decak kagum, sambil bergumam "Alangkah kayanya khasanah pangan lokal". Atau seperti kesan rekan TP sepulang dari Oh'aem I, "Betapa kaya negeri kita." Setelah itu, lalu apa? Tunggu festival berikutnya?
Pemulihan kedaulatan pangan lokal NTT, juga daerah lain, sejatinya tidak sekadar kembali ke bahan pangan asli setempat. Tapi lebih mendasar lagi kembali ke "inti budaya lokal", yang telah lama tersubordinasi oleh "inti budaya" pertanian padi sawah. Ini memang masalah ekologi budaya. Inti budaya NTT adalah pertanian lahan kering, dengan tanaman pangan utama jagung, sorgum, dan kekacangan. Maka NTT mesti kembali ke inti budayanya itu.
Kini sejumlah komunitas lokal, termasuk rekan TP di dalamnya, saya kira sedang berontak memperjuangkan kedaulatan pangan lokalnya. Tapi saya kira mereka masih berjuang sendiri. Belum mendapat dukungan serius dari pemerintah daerah yang lebih gemar menggelar festival pangan. Ketimbang mengubah kebijakan pertanian dan pangan untuk memfasilitasi kedaulatan pangan asli atau lokal.
Jadi, apakah pangan lokal NTT akan berdaulat kembali, tergantung pada komitmen politik dan budaya masyarakat bersama pemerintah di sana. Saya percaya, apabila kedaulatan pangan lokal NTT, juga daerah lain, dapat ditegakkan, niscaya istilah rawan pangan akan hilang dari "kamus pangan" NTT. Tidak mudah diwujudkan. Tapi pasti bisa, lagi pula waktu masih banyak.
Itu harapan saya, Felix Tani, petani padi yang mendukung kedaulatan pangan non-beras.***