Sejarah tak berulang, tapi polanya bisa diimitasi antar waktu. Itu antara lain gunanya belajar sejarah. Untuk menarik pelajaran tentang pola kejadian dari masa lalu guna diimitasi  ke masa kini atau masa depan.
Tahun 2014 sejarah politik nasional mencatatkan sebuah peristiwa fenomenal. Seorang Gubernur Jakarta, Joko Widodo (Jokowi), berhasil memenangi kontestasi k untuk selanjutnya menjadi Presiden RI 2014-2019. Itu untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia modern.
Pola kejadiannya sederhana. Gubernur Jakarta terpilih menjadi Presiden RI. Pola yang tak terpikirkan sebelumnya, tapi ternyata merupakan  "inovasi politik" yang bernilai strategis tinggi.
Secara teknis, polanya sangat sederhana. Jokowi hanya memerlukan waktu 30 menit untuk menyeberang dari Jalan Merdeka Selatan (Balai Kota), lewat Taman Monas, ke Jalan Merdeka Utara (Istana Merdeka), lalu menduduki kursi kepresidenan di situ.
Tapi secara politis, tentu tidaklah sesederhana itu. Dibutuhkan strategi, taktik, dan langkah yang ungul dan terukur, didukung oleh logistik yang (mungkin) tak terukur (baca: tak terbatas). Â Kita tahu, tahun 2019, keunggulan menjadi miliki pasangan Jokowi-Jusuf Kalla, meninggalkan pasangan Prabowo-Hatta Rajasa di posisi kedua.
Pola "Dari Balai Kota  ke Istana Merdeka" berdasar peristiwa sejarah politik 2014 itu agaknya yang hendak diimitasi oleh kubu partai "oposisi"  Gerindra-PAN-PKS (disingkat: GAK) ke konteks Pilpres 2019.  Upaya "habis-habisan" untuk mendudukkan Anies Baswedan di kursi Gubernur Jakarta Pada Pilgub 2017 lalu, dan memang berhasil, mesti ditempatkan dalam konteks kepentingan politik tersebut. Begitulah logika politiknya.
Karena itu meski diwarnai isu keagamaan yang pekat, berdasar logika tadi, harus dikatakan duduknya Anies sebagai Gubernur Jakarta,  sejatinya tak ada kaitannya  dengan agama sama sekali. Mengatakan itu ada hubungannya, berarti menerima fakta agama telah didevaluasi atau didegradasi menjadi sekadar "moda produksi politik" (political mode of production) ala Marxian.
Juga, sesuai logika  politik tadi, maka terlalu naif pula untuk percaya janji kampanye  Anies untuk menggenapi 5 tahun masa jabatan Gubernur Jakarta. Selain tidak ada dasar hukum untuk menuntut pengingkarannya, lazim berlaku justifikasi "kepentingan nasional (menjadi presiden) mengalahkan kepentingan daerah (menjadi gubernur)".  Kasus sukses Jokowi tahun 2014 adalah suatu preseden  untuk Gubernur Jakarta setelahnya.
Posisi Gubernur Jakarta memang sangat strategis sebagai "batu lompatan" ke Istana Merdeka. Setidaknya kalau bicara soal syarat tingkat "keterkenalan" untuk seorang capres atau cawapres. Karena statusnya sebagai pimpinan Ibu Kota Negara, maka dari semua gubernur di Indonesia, maka Gubernur Jakarta-lah yang paling banyak diberitakan media massa dan media sosial sehingga paling tinggi tingkat "keterkenalan"nya secara nasional.
Hal itu sudah pasti berlaku juga untuk Anies, gubernur paling "terkenal" se-Indonesia kini.  Implikasi lanjutnya, jika dibanding terhadap tokoh-tokoh politisi di kubu GAK, tingkat keterkenalan Anies  secara nasional sekarang ini mungkin hanya kalah oleh Prabowo dan Amien Rais. Artinya dari segi syarat "keterkenalan", Anies sudah memenuhi syarat untuk bersaing di Pilpres.
Dengan demikian menjadi terang kiranya latar belakang  untuk suara yang memasangkan Prabowo-Anies pada Pilpres 2019. Itu bukan ide kemarin sore, tapi sudah menjadi bagian dari "Strategi Besar Penaklukan Istana Merdeka" sejak kampanye Pilgub Jakarta tahun  2017 yang lalu. Sebagaimana kerap diungkapkan  tokoh-tokoh GAK, eksplisit ataupun implisit,  Pilgub Jakarta 2017 memang didisain sebagai prototipe atau  model untuk  Pilpres 2019. Itulah makna ujaran "Pilgub rasa Pilpres" di kalangan kubu GAK.
Karena itu, Pilgub Jakarta 2017 sejatinya telah didisain sebagai bagian dari strategi besar kubu GAK untuk menaklukkan Istana Merdeka. Dengan kata lain mengalahkan Jokowi pada Pilpres 2019. Sesuai dengan tulisan tagar #2019GantiPresiden yang viral beberapa waktu lalu.
Pola "Dari Balai Kota ke Istana Merdeka" itu terindikasi dari pendekatan "Antitesis Ahok" yang diterapkan kubu GAK pada Pilgub Jakarta 2017 lalu. Ahok ditempatkan sebagai "representasi Jokowi di DKI Jakarta". Karena itu penerapan "Antitesis  Ahok"  di Pilgub 2017 mesti dipahami sebagai representasi penerapan "Antitesis Jokowi" juga. Ini semacam ujicoba pedekatan untuk Pilpres 2019 nanti.
Mengapa "Antitesis Jokowi"? Alasannya sederhana, pertama, lebih mudah menjadi "Antitesis Jokowi" ketimbang  "Melebihi Jokowi". Jelas Anies, atau bahkan Jokowi, kini jauh di bawah Jokowi dalam hal pengalaman dan kinerja  kepemimpinan nasional, akseptabilitas nasional,  dan karena itu juga  dalam hal elektabilitas. Alasan kedua, untuk konteks kontestasi Pilpres melawan Jokowi tampil sebagai "antitesis"-nya lebih efektif, sebab langsung menawarkan pilihan yang "berbeda 180 derajat".
Indikasi paling kuat untuk gejala antitesis itu adalah kampanye dan praktek penghentian proyek reklamasi teluk  Jakarta oleh Anies, sebuah  proyek Pemda DKI (Ahok) berdasar pendelegasian wewenang Pemerintah Pusat (Jokowi). Artinya, sejak kampanye sampai saat dilantik hingga hari ini, Anies dengan dukungan kubu GAK sejatinya sudah dan sedang melancarkan gerakan "Antitesis Jokowi". Â
Berbagai ujaran dan tindakan Anies dari Balai Kota, dalam  kapasitasnya Gubernur Jakarta kemudian dapat ditempatkan pada gerakan "Antitesis Jokowi", dalam rangka "Dari Balai Kota Jakarta Menaklukkan Istana Merdeka". Sebut misalnya kritik Anies pada jargon "Saya Indonesia Saya Pancasila" yang diintroduksi Jokowi. Anies bilang bagusnya "Kita Indonesia Kita Pancasila". Boleh jadi,  karena saat Pilgub Jakarta 2017 ada terdengar nada-nada "non-Pancasila", Anies merasa jargon itu diarahkan pada dirinya atau kubunya (?).
Atau ujaran Anies "saatnya pribumi menjadi tuan rumah" saat pidato hari pertama menjadi Gubernur Jakarta. Ini kritik pada pemerintah (Jokowi) yang dinilai membiarkan dominasi minoritas elit bisnis domestik dan asing dalam kegiatan ekonomi nasional. Perhatikan ujaran Anies itu konsisten dengan ujaran Amien Rais bahwa "74 Â persen tanah negeri ini dimiliki kelompok tertentu", atau klaim Prabowo bahwa "80 persen tanah negeri ini dikuasai pihak luar". Â
Diskresi Anies menempatkan PKL berjualan di badan jalan Jatibaru Tanah Abang Jakarta juga tergolong "Antitesis Jokowi". Â Secara langsung itu menentang UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU No. 22/2009) yang ditandatangani Presiden RI (sekarang Jokowi). Karena itu diskresi tersebut bermakna "perlawanan" Balai Kota Jakarta kepada Istana Merdeka.
Penegasan terkini dan paling tegas untuk "Antitesis Jokowi", sekaligus mengindikasikan "Balai Kota Jakarta sebagai basis penaklukan Istana Merdeka"  adalah  laku politik  Amien Rais di Balai Kota baru-baru ini. Saat memberikan tausyah dalam acara tasyakuran Satu Tahun Ustadzah Peduli Negeri di Balai Kota (24/4/18), Amien Rais melontarkan ujaran politis yang jelas  mengarah pada pewujudan fiksi #2019GantiPresiden.
Inti tausyah Amien Rais itu adalah: Sebagaimana petahana Gubernur Jakarta Ahok bisa ditaklukkan Anies, maka petahana Presiden RI Jokowi nicaya juga bisa ditaklukkan Anies asalkan didukung secara masif dan terstruktur melalui kegiatan pengajian berorientasi pemenangan kubu GAK pada Pilpres 2019.
Dengan menggunakan analisa interpretatif ala Geertzian, yang tak hendak saya paparkan di sini (karena rada ribet), dapat disimpulkan bahwa lakon politik Amien Rais di Balai Kota menunjukkan bahwa, pertama, Balai Kota telah digunakan sebagai basis gerakan penaklukan Istana Merdeka tahun 2019. Â
Kedua, Anies secara implisit telah digadang sebagai capres/cawapres, riil atau bayangan, untuk berhadapan dengan Jokowi tahun 2019. Atau kalaupun bukan Anies, tetap saja dia telah diposisikan di garis depan untuk "menantang" Jokowi.
Ketiga, untuk menyukseskan "Balai Kota" (Anies, atau "Anies") menaklukkan "Istana Merdeka" (Jokowi), maka agama hendak dijadikan sebagai "moda produksi politik" dan rakyat (umat) sebagai "alat produksi politik" (baca: modal politik). Â Perhatikan konsistensinya dengan ujaran Amien tentang dikotomi "Partai Allah vs Partai Syaitan".Â
Kalau kesimpulan ketiga ini menjadi realitas, bukan lagi fiksi, Â maka sungguh serakah (seperti kapitalis) para tokoh politik, dan sungguh malang (seperti buruh kapitalis) nasib umat. Lagi, menurut hemat saya, penghinaan terbesar terhadap agama ialah saat menjadikannya sekadar moda produksi untuk mewujudkan ambisi politik (yang serakah).
Kesimpulan-kesimpulan sosiologi politik di atas tentulah masih bersifat hipotesis. Terbuka untuk diverifikasi atau sebaliknya difalsifikasi. Mari kita berdiskusi, atau berdebat, dengan argumen-argumen yang tak sesat pikir.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H