Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Balai Kota Jakarta, Basis Penaklukan Istana Merdeka?

28 April 2018   18:00 Diperbarui: 28 April 2018   21:29 1020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena itu, Pilgub Jakarta 2017 sejatinya telah didisain sebagai bagian dari strategi besar kubu GAK untuk menaklukkan Istana Merdeka. Dengan kata lain mengalahkan Jokowi pada Pilpres 2019. Sesuai dengan tulisan tagar #2019GantiPresiden yang viral beberapa waktu lalu.

Pola "Dari Balai Kota ke Istana Merdeka" itu terindikasi dari pendekatan "Antitesis Ahok" yang diterapkan kubu GAK pada Pilgub Jakarta 2017 lalu. Ahok ditempatkan sebagai "representasi Jokowi di DKI Jakarta". Karena itu penerapan "Antitesis  Ahok"  di Pilgub 2017 mesti dipahami sebagai representasi penerapan "Antitesis Jokowi" juga. Ini semacam ujicoba pedekatan untuk Pilpres 2019 nanti.

Mengapa "Antitesis Jokowi"? Alasannya sederhana, pertama, lebih mudah menjadi "Antitesis Jokowi" ketimbang  "Melebihi Jokowi". Jelas Anies, atau bahkan Jokowi, kini jauh di bawah Jokowi dalam hal pengalaman dan kinerja  kepemimpinan nasional, akseptabilitas nasional,  dan karena itu juga  dalam hal elektabilitas. Alasan kedua, untuk konteks kontestasi Pilpres melawan Jokowi tampil sebagai "antitesis"-nya lebih efektif, sebab langsung menawarkan pilihan yang "berbeda 180 derajat".

Indikasi paling kuat untuk gejala antitesis itu adalah kampanye dan praktek penghentian proyek reklamasi teluk  Jakarta oleh Anies, sebuah   proyek Pemda DKI (Ahok) berdasar pendelegasian wewenang Pemerintah Pusat (Jokowi). Artinya, sejak kampanye sampai saat dilantik hingga hari ini, Anies dengan dukungan kubu GAK sejatinya sudah dan sedang melancarkan gerakan "Antitesis Jokowi".  

Berbagai ujaran dan tindakan Anies dari Balai Kota, dalam  kapasitasnya Gubernur Jakarta kemudian dapat ditempatkan pada gerakan "Antitesis Jokowi", dalam rangka "Dari Balai Kota Jakarta Menaklukkan Istana Merdeka". Sebut misalnya kritik Anies pada jargon "Saya Indonesia Saya Pancasila" yang diintroduksi Jokowi. Anies bilang bagusnya "Kita Indonesia Kita Pancasila". Boleh jadi,  karena saat Pilgub Jakarta 2017 ada terdengar nada-nada "non-Pancasila", Anies merasa jargon itu diarahkan pada dirinya atau kubunya (?).

Atau ujaran Anies "saatnya pribumi menjadi tuan rumah" saat pidato hari pertama menjadi Gubernur Jakarta. Ini kritik pada pemerintah (Jokowi) yang dinilai membiarkan dominasi minoritas elit bisnis domestik dan asing dalam kegiatan ekonomi nasional. Perhatikan ujaran Anies itu konsisten dengan ujaran Amien Rais bahwa "74  persen tanah negeri ini dimiliki kelompok tertentu", atau klaim Prabowo bahwa "80 persen tanah negeri ini dikuasai pihak luar".  

Diskresi Anies menempatkan PKL berjualan di badan jalan Jatibaru Tanah Abang Jakarta juga tergolong "Antitesis Jokowi".  Secara langsung itu menentang UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU No. 22/2009) yang ditandatangani Presiden RI (sekarang Jokowi). Karena itu diskresi tersebut bermakna "perlawanan" Balai Kota Jakarta kepada Istana Merdeka.

Penegasan terkini dan paling tegas untuk "Antitesis Jokowi", sekaligus mengindikasikan "Balai Kota Jakarta sebagai basis penaklukan Istana Merdeka"  adalah  laku politik  Amien Rais di Balai Kota baru-baru ini. Saat memberikan tausyah dalam acara tasyakuran Satu Tahun Ustadzah Peduli Negeri di Balai Kota (24/4/18), Amien Rais melontarkan ujaran politis yang jelas  mengarah pada pewujudan fiksi #2019GantiPresiden.

Inti tausyah Amien Rais itu adalah: Sebagaimana petahana Gubernur Jakarta Ahok bisa ditaklukkan Anies, maka petahana Presiden RI Jokowi nicaya juga bisa ditaklukkan Anies asalkan didukung secara masif dan terstruktur melalui kegiatan pengajian berorientasi pemenangan kubu GAK pada Pilpres 2019.

Dengan menggunakan analisa interpretatif ala Geertzian, yang tak hendak saya paparkan di sini (karena rada ribet), dapat disimpulkan bahwa lakon politik Amien Rais di Balai Kota menunjukkan bahwa, pertama, Balai Kota telah digunakan sebagai basis gerakan penaklukan Istana Merdeka tahun 2019.  

Kedua, Anies secara implisit telah digadang sebagai capres/cawapres, riil atau bayangan, untuk berhadapan dengan Jokowi tahun 2019. Atau kalaupun bukan Anies, tetap saja dia telah diposisikan di garis depan untuk "menantang" Jokowi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun