Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Fiksi Cerdas Jokowi dan Kritik untuk Rocky Gerung

13 April 2018   13:19 Diperbarui: 15 April 2018   09:50 4875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ujaran #MasaKausBisaGantiPresiden dan #2030IndonesiaSepuluhBesarDunia adalah fiksi cerdas dari Pak Jokowi. Sebagai respons pada fiksi yang juga cerdas berupa slogan kaus #2019GantiPresiden dan ujaran Prabowo #2030IndonesiaBubar.

Di sini, setuju dengan Rocky Gerung (RG), fiksi saya maknai sebagai "energi positif mewujudkan imajinasi". Dengan itu, saya juga terima pernyataan "kitab suci adalah fiksi" dari RG, pada porsinya sebagai kerangka metodologi.

Pernyataan "kitab suci adalah fiksi" dari RG menurut hemat saya adalah pernyataan metodologis. Untuk memandu analisis menuju simpulan bahwa ujaran #2019 GantiPresiden dan #2030IndonesiaBubar adalah fiksi, energi positif mewujudkan tujuan. Maksudnya, mengalahkan Jokowi pada Pilpres 2019 supaya Indonesia tidak bubar tahun 2030.

Bahwa RG menggunakan konsep kitab suci, bisa berarti "Kitab Suci" atau "kitab suci", tujuannya jelas untuk memberi nilai tinggi pada fiksi #2019GantiPresiden dan #2030IndonesiaBubar. Di situlah cerdasnya RG mengganggu psikologi kubu lawan bicara. Sampai-sampai Akbar Faisal (dan banyak orang lainnya di medsos) terjebak masuk perangkap "strawman argument", dengan mempersoalkan makna ontologis "kitab suci adalah fiksi". Padahal RG sedang bicara pada tataran epistemologi atau metodologi. Gak nyambung gitu, lho. Makanya RG ketawa sinikal.

Sebagai kerangka metodologi, maka framework "kitab suci adalah fiksi" itu mestinya netral. Artinya bisa diterapkan dengan cara dan tujuan yang sama pada sembarang obyek yang dikategorikan sebagai "fiksi". Pada titik inilah saya berbeda pendapat dengan RG, dan pendapat saya ini merupakan kritik untuknya.

Menurut saya, RG telah berlaku tidak adil saat menerapkan metode "kitab suci adalah fiksi" yang dibangunnya. Dengan metode itu dia menafsir dan kemudian menyimpulkan kaus #2019GantiPresiden dan ujaran Prabowo #2030IndonesiaBubar adalah fiksi yang bernilai positif. Energi kreatif untuk mewujudkan imajinasi mengganti Jokowi sebagai Presiden tahun 2019, dengan seseorang yang mampu menghindarkan Indonesia bubar tahun 2030. Mungkin maksudnya Prabowo atau suaoa saja dari kubu yang dipersepsikan atau mempersepsikan diri sebagai "opisisi".

Jika ukuran fiksi adalah tujuan "imajinatif", sesuatu yang belum terjadi, tapi diharapkan terjadi, maka ujaran #MasaKausBisaGantiPresiden dan #2030IndonesiaSepuluhBesarDunia mestinya fiksi cerdas juga. Sebab keduanya belum terjadi, tapi merupakan energi positif untuk mewujudkan imajinasi. Imajinasi bahwa Jokowi akan terpilih menjadi Presiden RI untuk kedua kalinya tahun 2019 untuk mengantar Indonesia menjadi 10 Besar Kekuatan Ekonomi Dunia tahun 2030.

"Fiksi harusnya dibalas dengan fiksi," kata RG, untuk menyimpulkan bahwa ujaran Jokowi bukan fiksi. Di sini RG tidak konsisten karena kalau dia jujur menafsir, maka ujaran-ujaran Jokowi sejatinya memenuhi indikator fiksi yang dirumuskannya pada framework "kitab suci adalah fiksi". Ekspresi emosional Jokowi saat menyampaikan ujaran-ujaran itu, dan ini tafsir subjektif RG, bukan alasan yang sahih untuk mengeluarkan ujaran Jokowi dari kategori fiksi. Sebab kurang emosional apa Prabowo dengan ujaran #2030IndonesiaBubar?

Saya duga RG sadar akan ketakadilan praktek metodologisnya, sehingga tiba-tiba dia lari dengan melontarkan argumen "red herring", melempar umpan untuk mencegah serangan. Dia bilang, ujaran-ujaran Jokowi itu mencerminkan orang yang "bermasalah secara psikologis". Ditambah ujaran bahwa "chopper mempersyaratkan bobot badan minimal 90 Kg" (Jokowi baru turing dengan chopper-nya di Sukabumi). Hei, Bro RG, bukankah itu juga "argumentum ad hominem", karena tak ada relevansinya dengan fiksi. Kenapa RG harus menghakimi psikis dan fisik Jokowi?

Harus ada penjelasan mengapa RG tidak menilai ujaran Pak Jokowi sebagai fiksi cerdas, energi positif. Ndilalah, terungkap dari pengakuannya sendiri, RG rupanya sejak lama sudah punya predisposisi negatif tentang Jokowi. Lantaran, kata RG sendiri, Jokowi tidak memasukkan isu HAM dan LH sebagai agenda pembangunan jika terpilih jadi presiden. Dengan predisposisi semacam itu, maka apapun yang dikatakan dan dikerjakan oleh Jokowi, bagi RG adalah nonsens --salah aja.

Padahal, kalau mau jujur, ujaran #MasaKausBisaGantiPresiden, jika diambil sebagai contoh, adalah fiksi cerdas untuk mengimbangi fiksi #2019GantiPresiden. Ujaran Jokowi itu adalah "witty" bermakna ganda. Kaus bisa jadi alat mengganti presiden, atau kaus punya presiden yang mesti diganti tahun 2019.

Makna pertama disambar antara lain oleh Yusril Ihza M. Kalau baju kotak-kotak bisa menaikkan Jokowi jadi presiden, maka kaus juga bisa mengganti presiden. Begitu kurang lebih respons Yusril dan itu kurang mencerminkan kecerdasannya yang tinggi, saya kira. Sebab, bukan jenis atau motif pakaian yang menentukan keterpilihan seseorang menjadi presiden, atau kejatuhannya, tetapi kualitas pribadinya, khususnya integritas dan profesionalitasnya. Misalkan Yusril yang pakai kemeja motif kotak-kotak waktu Kampanye Pilpres 2014, apakah dia akan naik menjadi presiden?

Lalu, makna kedua, "kaus punya presiden" sehingga tagarnya bisalah diplesetkan jadi #2019GantiPresidenKaus. Bukankah ini sebuah fiksi cerdas yang kocak? Jokowi mengajak rakyat tertawa gembira untuk mengganti Presiden Kaus tahun 2019. "Witty" semacam ini menandakan Jokowi sangat sehat secara psikologis, walau bobot badannya di bawah 90 Kg. Itu sebabnya dia mampu menunggang chopper, dan juga kuda, sebenarnya.

Dengan kritik ini, sejatinya saya sedang mengapresiasi kesungguhan RG mengritik pemerintahan Jokowi. Saya pikir, RG adalah satu dari segelintir warga negara ini yang masih mampu berpikir kritis. Karena itu kritiknya tetap ditunggu, tapi mungkin lebih baik bila tak didasarkan pada predisposisi negatif terhadap subjek atau obyjek kritik.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun