Ketika pernyataan pengunduran diri Marina, Dirut BUMD Dharma Jaya, direspon Anies-Sandi, Gubernur dan Wagub Jakarta secara "tidak pas", maka segera jelas bagi kalangan yang kritis, bahwa Pemda Jakarta sejatinya sedang menutupi kegagalannya dalam pengadministrasian sosial.
Kegagalan yang saya maksud adalah kegagalan menjamin kontinuitas salah satu program unggulan pengadministrasian keadilan sosial, yaitu penjualan daging (ayam dan sapi) murah melalui PT Dharma Jaya khusus bagi keluarga pemegang Kartu Jakarta Pintar (KJP), bagian dari golongan penduduk miskin Jakarta.
Disebut pengadministrasian keadilan sosial karena dengan program itu keluarga pemegang KJP hanya perlu membayar misalnya 50% dari harga daging sapi atau ayam untuk per kilogramnya. Sedangkan 50% lagi disubsidi oleh Pemda melalui menggunakan dana APBD, yang antara lain bersumber dari pajak yang dibayarkan orang kaya. Artinya, berkat pajak dari orang kaya, maka orang miskin bisa makan daging sapi.
Kegagalan pengadimistrasian keadilan sosial oleh pemerintahan Anies-Sandi bermula dari penghentian pemberian Penyertaan Modal Daerah (PMD) kepada PT Dharma Jaya Tahun 2018 ini. Biasanya PT Dharma Jaya, yang mendapat penugasan menjual daging murah, menggunakan dana PMD itu untuk menalangi pembelian daging untuk peserta KJP, menunggu dana Public Service Obligation (PSO) turun dari Pemda Jakarta.
Masalahnya, menurut Marina, uang muka (down payment) dana PSO tidak kunjung cair dari bulan November 2017 sampai Maret 2018, sehingga praktis PT Dharma Jaya tidak punya dana lagi untuk membeli daging dari vendor. Untuk bulan November dan Desember 2017, PT Dharma Jaya mengambil langkah penggunaan kas perusahaan untuk membeli daging.
Tapi untuk bulan Januari-Maret 2018, langkah itu harus dihentikan, karena pasti akan merusak cash flow perusahaan. Sebab PT Dharma Jaya juga harus menjaIin kelancaran pembiayaan usaha komersil dan kewajiban-kewajiban bisnisnya.
Ketika masalah ini diungkap Marina ke permukaan, yang terjadi justru polemik terkait pengunduran diri Marina sebagai Dirut PT Dharma Jaya, dilanjutkan saling-menyalahkan antara PT Dharma Jaya, BPKD (Badan Pengelola Keuangan Daerah), dan Dinas KPKP (Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian).
Bukannya solusi yang dikejar, tapi Dirut PT Dharma Jaya yang disudutkan. Bahkan dicoba bunuh karakternya oleh Anies-Sandi dengan label-label "frustrasi", "nangis-nangis", dan "seperti anak ...".
Kata Kepala BPKD, kelambatan pencairan dans PSO terjadi karena masalah administratif. PT Dharma Jaya masih menggunakan Pergub Nomor 207/2016 tentang Ketahanan Pangan sebagai dasar kerjasama PSO dengan KPKP. Harusnya pakai Pergub Nomor 6/2018 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Pangan dengan Harga Murah bagi Masyarakat Tertentu, yang baru diterbitkan 6 Februari lalu. Ini argumen aneh, karena sebelum Pergub No 6/2018 terbit, maka sampai Januari 2018 mestinya Pergub Nomor 207/2016 yang berlaku.
Kontradiktif dengan argumen Kepala BPKD, Kepala Dinas KPKP malah bilang dana PSO untuk November 2017 sudah dibayarkan pada Desember 2017, sedangkan untuk Desember 2017 disepakati dibayarkan Januari 2018. Faktanya, didahului ribut-ribut, BPKD baru mencairkan dana PSO sebesar Rp 54 miliar per 15 Maret 2018. Sebesar Rp 13 miliar di antaranya adalah untuk pembayaran Desember 2017. Jadi, ada yang tak sinkron antara Dinas KPKP, BPKD, dan PT Dharma Jaya.
Sebenarnya ada yang rada aneh di sini. Kalau PT Dharma Jaya sudah mengikat kontrak PSO daging murah dengan Dinas KPKP, sebenarnya kontrak itu bisa digunakan sebagai "underlying" kredit modal kerja (KMK) ke Bank DKI. Mengapa itu tak dilakukan?