Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pak Anies, Jakarta Itu Indonesia Bukan Turki

23 Februari 2018   15:47 Diperbarui: 23 Februari 2018   15:50 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: megapolitan.kompas.com

Ide bagus untuk mengembangkan wisata halal (wilal) di Jakarta. Seperti dijanjikan Pak Anies waktu kampanye. Tentu segmen konsumennta sudah dipikirkan. 

Yang menjadi pertanyaan pada Pak Anies adalah wilal macam apa yang hendak dikembangkan? 

Rupanya belum ada konsep yang jelas. Kecuali batasan-batasan tanpa alkohol, tanpa prostitusi, tanpa makanan haram, hiburan sesuai aturan agama, lengkap tempat sembahyang, dan lain-lain yang senada. 

Itu semua bagus. Jadi tidak perlu khawatir terjerumus ke dalam dosa jika menjalani wilal. 

Karena konsepnya belum jelas, maka Pak Sandi datang dengan ide pertunjukan tari sufi Turki sebagai hiburan halal. Rencananya akan dibuat pertunjukan reguler di TIM. 

Ini gagasan aneh. Pertama, mengapa harus tari sufi Turki? Memangnya tidak ada tari halal asli Indonesia? Mengapa tidak mengangkat misalnya Tari Saman Aceh yang jelas-jelas Islami sebagau hiburan halal di Jakarta? 

Kedua, siapa yang akan menonton tari sufi di Jakarta? Wisatawan tentu akan lebih memilih nonton tari sufi di negeri asalnya di Turki sana. Bukan di Jakarta. Sebab mementaskan tari itu di luar ekosistem sosial-budayanya, mengebabkan ia hilang greget. 

Ada lagi gagasan Pak Sandi yang sama anehnya. Mau mereplikasi Grand Bazaar Istanbul Turki di Tanah Abang. 

Pertanyaannya, kenapa harus mencontoh pasar besar (grand bazaar) di Turki. Mengapa tidak mencontoh Pasar Gede ( grand bazaar) Solo? Kan lebih kental budaya Indonesia. 

Yang hendak digaris-bawahi di sini, mengembangkan wilal di Jakarta itu adalah baik. Tapi mereplikasi budaya Turki untuk membangun wilal di Jakarta adalah pengingkaran identitas budaya.

Jakarta adalah bagian dari Indonesia, bukan Turki. Wisatawan datang ke Turki untuk melihat Turki, bukan Indonesia. 

Begitu juga wisatawan datang ke Jakarta untuk melihat Indonesia, bukan Turki. 

Maka, menurut saya Pak Anies, wilal yang dikembangkan di Jakarta mestinya adalah wilal yang menampilkan potensi-potensi objek wilal nusantara. Tak perlu meminjam objek wilal negara lain seperti Turki. 

Lagi pula bukankah salah satu dari tiga sasaran besar pembangunan nasional kini adalah kepribadian budaya? Maka potensi budaya nusantaralah yang harus digali untuk disatukan menjadi obyek wilal Jakarta. 

Dengan begitu wilal Jakarta akan menampilkan kepribadian budaya Indonesia sebagai identitasnya. Sehingga, jika wisatawan datang ke Jakarta, mereka akan mengalami dan kemudian mengenang Indonesia, bukan Turki.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun