Ide bagus untuk mengembangkan wisata halal (wilal) di Jakarta. Seperti dijanjikan Pak Anies waktu kampanye. Tentu segmen konsumennta sudah dipikirkan.Â
Yang menjadi pertanyaan pada Pak Anies adalah wilal macam apa yang hendak dikembangkan?Â
Rupanya belum ada konsep yang jelas. Kecuali batasan-batasan tanpa alkohol, tanpa prostitusi, tanpa makanan haram, hiburan sesuai aturan agama, lengkap tempat sembahyang, dan lain-lain yang senada.Â
Itu semua bagus. Jadi tidak perlu khawatir terjerumus ke dalam dosa jika menjalani wilal.Â
Karena konsepnya belum jelas, maka Pak Sandi datang dengan ide pertunjukan tari sufi Turki sebagai hiburan halal. Rencananya akan dibuat pertunjukan reguler di TIM.Â
Ini gagasan aneh. Pertama, mengapa harus tari sufi Turki? Memangnya tidak ada tari halal asli Indonesia? Mengapa tidak mengangkat misalnya Tari Saman Aceh yang jelas-jelas Islami sebagau hiburan halal di Jakarta?Â
Kedua, siapa yang akan menonton tari sufi di Jakarta? Wisatawan tentu akan lebih memilih nonton tari sufi di negeri asalnya di Turki sana. Bukan di Jakarta. Sebab mementaskan tari itu di luar ekosistem sosial-budayanya, mengebabkan ia hilang greget.Â
Ada lagi gagasan Pak Sandi yang sama anehnya. Mau mereplikasi Grand Bazaar Istanbul Turki di Tanah Abang.Â
Pertanyaannya, kenapa harus mencontoh pasar besar (grand bazaar) di Turki. Mengapa tidak mencontoh Pasar Gede ( grand bazaar) Solo? Kan lebih kental budaya Indonesia.Â
Yang hendak digaris-bawahi di sini, mengembangkan wilal di Jakarta itu adalah baik. Tapi mereplikasi budaya Turki untuk membangun wilal di Jakarta adalah pengingkaran identitas budaya.
Jakarta adalah bagian dari Indonesia, bukan Turki. Wisatawan datang ke Turki untuk melihat Turki, bukan Indonesia.Â