Ada dua cara untuk menangkap makna Reuni Alumni 212 pada tanggal 2 Desember 2012 yang lalu. Cara pertama, menganalisis hal yang terungkap eksplisit (manifest). Berarti menganalisis apa yang terlihat berlangsung dan apa yang terdengar diujarkan  para orator saat acara reuni tersebut.
Lalu berdasar analisis itu menyimpulkan, oh, itu acara keagamaan disisipi aspirasi politik. Atau, oh, bukan, Â itu kegiatan politik dibungkus inspirasi keagamaan. Atau, oh, itu murni kegiatan keagamaan. Atau, oh, bukan, itu murni politik.
Cara kedua, menganalisis hal yang  terungkap implisit (latent). Artinya, menafsir makna peristiwa reuni alumni 212 secara holistik. Holistik dalam arti menafsir keterkaitan Reuni Alumni 212 itu  dengan peristiwa-peristiwa yang  mendahului, mengikuti, dan yang terjadi bersamaan waktu.
Melalui cara kedua ini, pertanyaan yang akan dijawab adalah "apa yang dinyatakan oleh peristiwa reuni Alumni 212". Bukan menjawab pertanyaan apa yang dinyatakan para pelaku reuni saat itu.
Saya akan menggunakan cara kedua, bukan cara pertama.  Alasannya, mulut pengujar bisa bohong (cara pertama), tapi peristiwa tak menipu (cara kedua), kendati tidak selalu berterus-terang. Maka makna sebuah peristiwa haruslah ditafsir.  Cara tafsir yang hendak saya  gunakan adalah "lukisan mendalam" (thick description) ala Clifford Geertz.
Peristiwa yang mendahului Reuni Alumni 212 tentulah Aksi 212 berskala sangat besar  tahun 2016. Target aksi itu adalah mengalahkan Pak Ahok selaku petahana dalam Pilgub DKI Jakarta tahun 2017 di satu ujung, dan menaikkan Pak Anies  sebagai Gubernur DKI yang baru. Dengan mengadukan Pak Ahok sebagai "penista agama Islam", aksi itu dan aksi-aksi lanjutannya (serial), telah menjadi salah satu faktor penting yang mengalahkan Pak Ahok, sekaligus mengirim lelaki itu ke balik jeruji penjara.
Bagi Alumni 212, Pak Ahok dan Pak Jokowi, Presiden RI kini, adalah satu paket yang harus dihentikan kekuasaannya. Tujuan gerakan itu, menurut ketuanya, adalah memenangkan kepemimpinan Islam di setiap Pilkada 2018, dan mengalahkan Jokiwi dalam Pilpres 2019. Â ("Ketua Alumni 212: Tahun 2019 Ingin Presiden Lita Ganti Nggak", tempo.co, 5/11/17).
Success Story" Aksi 212 adalah kemenangan Pak Anies pada Pilkada DKI Jakarta 2017, yang hendak direplikasi ke tataran nasional, dengan mengusung Pak Anies sebagai penantang utama Pak Jokowi sebagai capres pada Pilpres 2019 nanti.
Jadi, makna laten peristiwa Reuni Alumni 212 itu adalah pengumuman politik mendukung Pak Anies sebagai capres 2019 untuk menantang Pak Jokowi selaku petahana. Â Pak Anies sendiri menyetujui pengumuman itu secara "malu-malu tapi mau". "Malu-malu"-nya tersirat dari "ketidak-terus-terangan" Pak Anies memberi ijin Reuni Alumni 212 di Monas, sementara dia sudah membuka Monas untuk acara "keagamaan". "Mau" karena Pak Anies pada akhirnya hadir juga dalam acara Reuni Alumni 212 itu, kendati sebelumnya "diam dan senyum" saja kalau ditanya soal itu.
Kehadiran Pak Anies dalam acara Reuni Alumni 212 itu bukan sesuatu yang acak, tapi "by design". Â Itu sesuatu yang sudah diniatkan dan direncanakan sebelumnya, sebagaimana tersirat dari tindakan-tindakan Pak Anies sebelum dan sesudah reuni itu.
Tindakan-tindakan yang dimaksud adalah langkah pemosisian diri Pak Anies yang bermakna rivalry terhadap Pak Jokowi. Bisa disebut di sini ujaran kritik Pak Anies selaku Gubernur DKI Â terhadap slogan "Saya Indonesia Saya Pancasila". Kata Pak Anies, harusnya "Kita Indonesia Kita Pancasila". Dengan kritik itu, Pak Anies sudah beradu konsep idiologis dengan Pak Jokowi.
Lalu, ada keputusan Pak Anies melangkahi Pak Jokowi selaku Presiden RI, yaitu penetapan bantuan dana APBD DKI Jakarta untuk parpol sebesar Rp 4,000 per suara. Pada hal secara nasional (APBN), menurut revisi PP Nomor 5/2009 jumlah bantuan tingkat propinsi adalah Rp 1,500 per suara. Masalahnya, revisi PP itu belum ditandangani oleh Pak Jokowi. Jadi, Pak Anies mengambil keputusan sepihak, seakan dia adalah Presiden RI.
Lalu, ada kritik Pak Anies kepada Pak Jokowi soal belum adanya amdal lalin tol Becakayu yang diresmikan penggunaannya 3 November 2017 lalu. Pak Anies implisit mau bilang, kalau saya Presiden, saya tak akan resmikan tol yang belum punya amdal lalin. Kebalikannya cara pikir Pak Jokowi, kalau sudah diresmikan penggunaannya, berarti amdal lalin sudah dipenuhi sebelumnya.
Tapi peristiwa yang paling tegas tentang rivalry itu adalah pilihan Pak Anies untuk hadir pada acara Reuni Alumni 212 tanggal 2 Desember lalu, dan bukan memilih untuk mendampingi Pak Jokowi  meresmikan beberapa venue Asian Games 2018 yang waktunya bersamaan. Dengan peristiwa itu maka Pak Anies telah menyatakan sikap politiknya, bahwa dia adalah bagian integral dari Alumni 212, dan bahwa hadir di Reuni Alumni 212 lebih penting ketimbang mendampingi Presiden Jokowi.
Lebih penting karena dengan menghadiri Reuni Alumni 212 dia menegaskan diri sebagai calon presiden tahun 2019, yang akan didukung oleh Alumni 212. Kalau memilih  mendampingi Jokowi, maka dia tak lebih dari seorang Gubernur DKI Jakarta, sambil diingat dia adalah mantan Mendikbud yang terkena reshufle.
Jadi pilihan Pak Anies untuk hadir di Reuni Alumni 212 adalah pengumuman rivalry kepada Pak Jokowi tahun 2019 nanti. Tahun ini besar kemungkinan kita akan menyaksikan lebih banyak lagi tindakan dan ujaran, manifest ataupun laten, dari Pak Anies untuk menegaskan rivalrynya kepada Pak Jokowi.
Dan rivalry Pak Anies dengan Pak Jokowi menuju Pilpres 2019 itu menurut saya harus diapresiasi, sejauh itu rivalry sehat, Â tak dilakukan dengan mengkapitalisasi modal sosial berupa sentimen SARA.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H