Ketiga, kejadian menerabas larangan lalu-lintas. Yang paling heboh adalah kejadian di Puncak, ketika Pak Anies dan rombongannya melawan arus "naik satu arah" di jalur Puncak, saat turun ke Bogor dari kawasan agrowisata Gunung Mas, Sabtu (21/10) minggu lalu.
Ini bukan kejadian pertama Pak Anies menerabas aturan lalu lintas. Di Jakarta, menurut laporan netizen, Â setidaknya sudah dua kali terjadi. Pertama, masuk jalur bus Transjakarta untuk mengejar waktu debat Pilgub DKI. Kedua, meminta paksa jalan di tengah kemacetan dengan memainkan strobo.
Ikhwal strobo itu, bisa ditafsir sebagai penanda kecenderungan minta diistimewakan di jalanan. Sehingga saya khawatir, jangan-jangan kejadian menerabas aturan lalu-lintas itu bukan insidensi, tapi sudah jadi kebiasaan. Tapi mudah-mudahan saya salah.
Menerabas aturan lalu-lintas, baku atau rekayasa, sejatinya dilakukan untuk kepentingan sendiri. Orang lain silahkan bermacet-ria, saya tidak, harus jalan lancar. Akibatnya sudah jelas, kepentingan umum di jalanan dinomor-duakan. Itu jelas tergambar dalam kasus Pak Anies melawan arus di Puncak.
"Ojo dumeh." Kekuasaan memang menempatkan seseorang pada posisi istimewa. Tapi keistimewaan itu mestilah menciptakan manfaat bagi khalayak, dalam hal ini rakyat. Bukannya jadi justifikasi untuk menuntut diistimewakan dalam segala hal.
Seseorang yang sudah mencapai posusi istimewa, tidak akan minta diistimewakan lagi. Jika dia masih minta diistimewakan, berarti dia tak pantas berada di posisi itu.
Saya pikir, Pak Jokowi bisa menjadi teladan bagaimana perilaku orang istimewa. Ketika kemacetan tidak bisa ditembus saat akan menghadiri upacara HUT TNI ke-72 di Banten tanggal 5/10/2017, Pak Jokowi memilih untuk jalan kaki 3 km ke Darmaga PT Indah Kiat, Cilegon, lokasi upacara. Tanpa keluhan sama sekali. Seingat saya, Pak SBY juga pernah darurat membonceng motor Patwal untuk menembus kemacetan tol menuju Sirkuit Sentul. Tanpa keluhan. Â Tanpa tuntutan. Tidak perlu panggil helikopter misalnya.
Apa susahnya Pak Anies mengambil jalur alternatif yang disarankan polisi di Puncak, misalnya. Atau minta tolong warga lokal atau Pak Polisi untuk memboncengkan Pak Anies naik motor turun ke Bogor. Pasti lebih simpatik, ketimbang maksa melawan arus.
"Ojo dumeh." Mungkin Pak Anies perlu untuk lebih meresapkan falsafah Jawa yang bersahaja ini. Jangan sampai orang bilang pula, Â "Koyo ngono yo koyo ngono ning ojo koyo ngono" ( "Begitu ya begitu tapi jangan begitu").
Intinya perlu memelihara keseimbangan antara penghormatan terhadap hak-hak diri sebagai penguasa dan hak-hak rakyat sebagai pemberi kuasa. Jika penghormatan terhadap hak rakyat rendah, maka legitimasi sebagai penguasa terancam pudar.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H