Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Usul Saya pada Ahmad Dhani: Buat Museum Mesum di Jakarta

11 Juli 2017   16:44 Diperbarui: 12 Juli 2017   09:48 2086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ahmad Dhani mungkin punya potensi kreativitas untuk mengembangkan permuseuman di Jakarta. Sebagai seniman, sangat mungkin dia punya ide cemerlang soal tema dan isi museum yang khas Jakarta. Seperti dulu, sekali lagi dulu, dia sukses menciptakan lagu-lagu pop yang laris-manis di pasaran.

Memang sejauh ini pernyataannya tentang permuseuman Jakarta masih serba sesat. Pertama, dia menggeneralisir semua museum di Jakarta tidak nyaman, hanya karena dia merasa tidak nyaman pada suatu kunjungan ke Museum Fatahillah.

Itu namanya sesat pikir "dramatisasi" (fallacy of dramatic instance). Menggunakan satu kasus, subyektif pula, untuk mengambil kesimpulan umum. Istilahnya, "generalisasi berlebihan", alias "lebay".

Kedua, dia menyimpulkan Jakarta kota yang kurang beradab, karena Ahok hanya bisa membangun jalan, jembatan, dan gedung. Ini namanya sesat pikir "non causa pro causa". Menarik kesimpulan bahwa satu fakta merupakan sebab dari fakta lain, hanya karena terjadi berurutan atau bersamaan. Jelas tidak ada hubungan antara fakta "Jakarta kurang beradab" dan fakta " Ahok membangun jalan, jembatan, dan gedung".

Sesat pikir kedua itu lalu melahirkan sesat pikir ketiga, "non causa pro causa" juga, ketika dia mengatakan akan membangun museum untuk membangun peradaban kota Jakarta. Tidak ada hubungan kausatif yang logis antara "pembangunan museum" (yang notabene fisik juga) dan "peningkatan peradaban".

Lagi pula urutannya terbalik. Peradaban dulu baru museum, bukan sebaliknya. Sebab museum adalah dokumentasi peradaban. Dan peradaban adalah capaian-capaian  kebudayaan pada masa-masa tertentu. Artefaknya terutama berupa benda-benda, bangunan,  teknologi, dan karya seni budaya pada suatu zaman.

Kendati begitu, tidak baik berburuk-sangka pada Ahmad Dhani. Beberapa sesat pikir di atas bukan dasar yang memadai untuk menyimpulkan dia tak punya kompotensi untuk pengembangan permuseuman di Jakarta. Jika diberi kesempatan belajar sebentar, termasuk bench-marking ke berbagai museum di Eropa, maka sangat mungkin daya kreatifnya bisa produktif untuk memajukan permuseuman Jakarta.

Jika Ahmad Dhani diberi kesempatan itu; maka saya akan ajukan pengembangan sebuah museum tematik khas yaitu "Museum Mesum Jakarta". Jangan ketawa, ini usulan serius. Dan perlu diklarifikasi, ini obsesi saya pribadi, bukan obsesi Ahmad Dhani.

Saya akan tunjukkan bahwa ini usulan serius. Bukan gagasan iseng, atau sindiran. Ini khas tema permesuman, bukan tema seks seperti di berbagai negara maju di Eropa. Jadi, di "Museum Mesum Jakarta" yang saya bayangkan, tidak akan ada konten seksual yang vulgar.

Saya bayangkan isi museum adalah artefak atau dokumen, atau peraga kasus-kasus, tentang sejarah permesuman di Jakarta dari masa ke masa. Bisa dimulai sejak masa VOC, misalnya tentang rumah bordil pertama di Batavia, yaitu Macao Po di Gang Mangga, dejat stasiun Beos (Kota) atau Jalan Jayakarta sekarang. Pelacurnya didatangkan germo Potugis dan Cina. Macao Po menjadi tempat hiburan seks bagi orang-orang Belanda waktu itu. Tentu ada resiko penyakit sifilis, waktu itu disebut penyakit "mangga", karena didapatkan (terutular) dari Gang Mangga.

Lalu ada artefak "soehian", rumah-rumah bordil yang didirikan orang Cina di seantero Batavia, meniru model "Macao Po". Soehian ini awalnya tumbuh di Gang Mangga dan sekitarnya. Lalu sekitar awal abad ke-20 menyebar ke Gang Hauber (Petojo) dan Kaligot (Sawah Besar). Rumah bordil Kaligot tutup akhir 1950-an, sedang Gang Hauber tutup awal 1970-an.

Lalu masuk ke masa pendudukan Jepang, dapat ditunjukkan rumah-rumah permesuman khusus untuk tentara Nippon, yang mempekerjakan paksa perempuan-perempuan lokal sebagai pemuas birahi. Ini tergolong episode hitam sejarah permesuman Jakarta.

Memasuki masa Orde Lama, dapat digambarkan perkembangan pelacuran Jakarta yang makin pesat. Tahun 1950-an stasiun Senen berkembang menjadi lokasi pelacuran kelas bawah, kelas gerbong dan rumah kardus,  terkenal dengan nama "Planet Senen". Selain di Senen, lokasi pelacuran kelas bawah juga berkembang di BongkaranTanah Abang, Rawa Malang, Boker, Kalijido, dan Kramat Tunggak. Semuanya lokalisasi liar.

Memasuki Masa Orde Baru, ada tonggak lokalisasi resmi.  Tahun 1972/1973 di Jakarta Gubernur Ali Sadikin untuk pertama kalinya mendirikan lokalisasi pelacuran resmi Kramat Tunggak, Tanjung Priok. Disamping lokalisasi resmi ini, lokasi pelacuran liar tetap bertahan, antara lain di Kalijodo.

Kramat Tunggak resmi ditutup tahun 1999 dan di atasnya dibangun Jakarta Islamic Center. Sedangkan Kalijodo dirubuhkan paksa tahun 2016 dan di atasnya kini berdiri fasilitas sosial RPTRA Kalijodo. Keduanya tinggal sejarah, tempatnya cocok di museum.

Sejarah permesuman di Jakarta sejak Zaman VOC sampai era milenium ini, tentu sangat menarik, dan sangat penting, untuk didokumentasikan dalam wujud museum. Museum Mesum Jakarta itu akan menjadi bahan pelajaran penting tentang sebab-sebab permesuman, bentuk-bentuknya, peran penguasa dan pengusaha, kondisi masyarakat masa itu dan respon sosial padanya, dan akibat-akibatnya baik bagi individu maupun masyarakat, serta kelangsungan bangsa dan negara.

Tambahan, bukankah salah satu program Anies-Sandi untuk menghapuskan lokasi permesuman dari bumi Jakarta? Jadi sungguh relevan. Menjadikan permesuman sebagai sejarah kelam, dan mendokumentasikannya di sebuah museum. Untuk menjadi bahan pelajaran dan refleksi diri bagi masyarakat Jakarta..

Jadi, siapa bilang gagasan Museum Mesum Jakarta itu main-main?***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun