Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Plagiarisme Adalah Bunuh Diri Karakter

22 Juni 2017   11:31 Diperbarui: 22 Juni 2017   18:46 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ingin mati konyol?  Dalam pengertian kematian karakter?  Tindak plagiasi, atau plagiarisme, adalah cara terbaik.

Ya, plagiarisme adalah bunuh diri karakter. 

Karena itu, plagiarisme adalah suatu tindak kejahatan.  Bukan semata kejahatan mencuri hak cipta orang lain, dan mengklaimnya  sebagai karya sendiri.  Tapi, yang sangat mendasar, kejahatan terhadap diri sendiri, yaitu "membunuh karakter sendiri".

Begitu seseorang terbongkar kejahatan plagiarismenya, maka pada saat itu juga  karakternya telah terbunuh.  Terbunuh oleh tindak plagiasinya sendiri.

Maka, seorang plagiator yang terbongkar tindakannya, otomatis akan mengalami "kematian karakter".  Sekali lagi, bukan karena orang lain membongkar kejahatan plagiarismenya, tapi karena dia sendiri yang membunuh karakternya.

Kematian karakter berarti kehilangan pengakuan, kepercayaan,  dan kehormatan di hadapan publik.  Publik melihatnya sebagai "penjahat" hak kepemilikan intelektual, atau sekurangnya "pencuri", atau "penipu".  

Contoh.  Tahun 2014, AA,  seorang ekonom muda cemerlang dari universitas ternama di Yogyakarta, terbukti melakukan tindak plagiasi atas artikel Hotbonar Sinaga dan menerbitkannya di harian Kompas.  Dengan satu "kejahatan" itu, publik langsung kehilangan pengakuan, kepercayaan, dan kehormatan padanya.  Dia langsung mundur dari universitasnya, kehilangan peluang menempati posisi strategis  di ranah pemerintahan, dan kehilangan pengakuan dari lingkungan intelektual.  Dengan kata lain, dia mengalami "kematian karakter".

Contoh lain. Tahun 2010, AABP, seorang guru besar bidang hubungan internasional dari universitas swasta ternana di Bandung, terbukti melakukan tindak plagiasi atas artikel ilmiah Carl Ungerer dan menerbitkannya di harian The Jakarta Post.  Rapat Senat universitas memutuskan mencopot jabatan guru besarnya, tapi dia memilih mengundurkan diri.  Dia telah membunuh karakternya sendiri.

Itu  dua contoh sebagai ilustrasi saja.  Dengan mengetikkan kata kunci "kasus plagiat" di situs mesin pencari Google, segera dapat ditemukan kasus-kasus plagiarisme  lainnya.  Untuk saat ini, nama penulis muda ANF, ada di urutan pertama. 

Ada ragam motif orang melakukan tindak plagiarisme.  Tapi semua alasan bisa diperas menjadi satu alasan pokok, yaitu "jalan pintas".   Ini metalitas menerabas.   Mau cepat mencapai tujuan, atau hasil, lewat cara yang menabrak etika.  Tidak mau susah, malas, tapi ingin sohor, sukses.

Sukses?  Apakah benar para plagiator itu benar sukses lewat jalan plagiarisme? Untuk sementara, yaitu selama kejahatannya belum terungkap, ya, bisa sukses, sohor, walau itu semuanya semu. 

Durian matang selalu menembus kulitnya. Maka, cepat atau lambat, kejahatan plagiarisme akan terungkap.  Sebagai contoh, sebelum tindak plagiasinya terungkap ke publik, rekan muda ANF menjadi sangat sohor di dunia maya dan di ruang nyata, bahkan sampai ketemu presiden.  Begitu tindak plagiasinya terbuka, maka dia langsung kehilangan pengakuan, kepercayaan, dan kehormatan dari publik. Dia telah membunuh karakternya sendiri.

Sadar plagiarisme adalah bunuh diri karakter, yang dapat berdampak kehilangan masa depan, maka sejumlah Perguruan Tinggi kini menggunakan aplikasi anti-plagiarisme untuk menjamin karya-karya tulis akhir mahasiswanya bebas-plagiasi.  Lazimnya, ditetapkan kadar toleransi  plagiasi maksimal 10%.  Diatas 10% persen, maka sebuah karya divonis sebagai karya plagiasi, sehingga harus ditolak.

Tapi pencegahan plagiarisme pertama-tama memang harus dikembalikan pada itikad seorang penulis.  Ini soal etika.  Mau jujur atau bohong?  Mau produksi sendiri atau mencuri? Seorang penulis sejati akan berjuang tampil menjadi diri sendiri.  Dia akan memproduksi sebuah teks yang otentik, hasil pergulatan pikirannya sendiri.  Dengan cara itu, dia membubuhkan "signature" pada tiap tulisannya.  Sehingga, tanpa membaca nama penulisnya, orang segera tahu siapa penulis sebuah tulisan.

Jika seorang penulis memproduksi sebuah karya yang tidak otentik, tapi hasil plagiasi, maka pembaca yang baik akan segera "deja vu" , lalu akan menggali ingatannya untuk memastikan sebuah kecurigaan.  Itulah yang terjadi misalnya pada kasus rekan ANF.

Karena itu, tidak guna menyalahkan orang lain atas terbongkarnya sebuah plagiasi.  Apalagi dengan tuduhan sirik, membunuh karakter, dan lain sebagainya.   Justru, para pengungkap plagiarisme harus diberi penghargaan, karene mereka berjuang menegakkan kejujuran di dunia pemikiran.  Berjuang untuk mendorong produksi teks-teks pemikiran orisional.

Karya plagiarisme tidak membuat dunia pemikiran berkembang.  Karena karya plagiat bukan hasil produksi, melainkan karya reproduksi pada tingkatan yang paling buruk.  Dia hanya mengulang yang terdahulu, sehingga justru mengerdilkan dunia pemikiran.  Itu sebabnya para plagiator dikusilkan dari dunia intelektual.  Sebab dia tidak menyumbangkan apapun, kecuali kejahatan.

Maka, sesukar apapun jalan yang harus ditempuh, seorang penulis harus membangun karakternya sendiri, menerakan "signature" pada setiap karya tulisnya.  Tidak ada yang tak bisa, karena setiap orang pada dasarnya adalah seorang penulis.  Masalahnya, apakah dia mau kerja keras menulis menurut kemampuannya sendiri, atau mau menerabas dengan cara mencuri karya orang lain? 

Sekali yang terakhir ini menjadi pilihan, maka seorang penulis telah melakukan bunuh diri karakter.  Dia sendiri yang membunuh karakternya, sementara tidak pernah ada jalan mudah untuk membangkitkan kembali karakter yang sudah mati.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun