Durian matang selalu menembus kulitnya. Maka, cepat atau lambat, kejahatan plagiarisme akan terungkap. Â Sebagai contoh, sebelum tindak plagiasinya terungkap ke publik, rekan muda ANF menjadi sangat sohor di dunia maya dan di ruang nyata, bahkan sampai ketemu presiden. Â Begitu tindak plagiasinya terbuka, maka dia langsung kehilangan pengakuan, kepercayaan, dan kehormatan dari publik. Dia telah membunuh karakternya sendiri.
Sadar plagiarisme adalah bunuh diri karakter, yang dapat berdampak kehilangan masa depan, maka sejumlah Perguruan Tinggi kini menggunakan aplikasi anti-plagiarisme untuk menjamin karya-karya tulis akhir mahasiswanya bebas-plagiasi.  Lazimnya, ditetapkan kadar toleransi  plagiasi maksimal 10%.  Diatas 10% persen, maka sebuah karya divonis sebagai karya plagiasi, sehingga harus ditolak.
Tapi pencegahan plagiarisme pertama-tama memang harus dikembalikan pada itikad seorang penulis. Â Ini soal etika. Â Mau jujur atau bohong? Â Mau produksi sendiri atau mencuri? Seorang penulis sejati akan berjuang tampil menjadi diri sendiri. Â Dia akan memproduksi sebuah teks yang otentik, hasil pergulatan pikirannya sendiri. Â Dengan cara itu, dia membubuhkan "signature" pada tiap tulisannya. Â Sehingga, tanpa membaca nama penulisnya, orang segera tahu siapa penulis sebuah tulisan.
Jika seorang penulis memproduksi sebuah karya yang tidak otentik, tapi hasil plagiasi, maka pembaca yang baik akan segera "deja vu" , lalu akan menggali ingatannya untuk memastikan sebuah kecurigaan. Â Itulah yang terjadi misalnya pada kasus rekan ANF.
Karena itu, tidak guna menyalahkan orang lain atas terbongkarnya sebuah plagiasi. Â Apalagi dengan tuduhan sirik, membunuh karakter, dan lain sebagainya. Â Justru, para pengungkap plagiarisme harus diberi penghargaan, karene mereka berjuang menegakkan kejujuran di dunia pemikiran. Â Berjuang untuk mendorong produksi teks-teks pemikiran orisional.
Karya plagiarisme tidak membuat dunia pemikiran berkembang. Â Karena karya plagiat bukan hasil produksi, melainkan karya reproduksi pada tingkatan yang paling buruk. Â Dia hanya mengulang yang terdahulu, sehingga justru mengerdilkan dunia pemikiran. Â Itu sebabnya para plagiator dikusilkan dari dunia intelektual. Â Sebab dia tidak menyumbangkan apapun, kecuali kejahatan.
Maka, sesukar apapun jalan yang harus ditempuh, seorang penulis harus membangun karakternya sendiri, menerakan "signature" pada setiap karya tulisnya. Â Tidak ada yang tak bisa, karena setiap orang pada dasarnya adalah seorang penulis. Â Masalahnya, apakah dia mau kerja keras menulis menurut kemampuannya sendiri, atau mau menerabas dengan cara mencuri karya orang lain?Â
Sekali yang terakhir ini menjadi pilihan, maka seorang penulis telah melakukan bunuh diri karakter. Â Dia sendiri yang membunuh karakternya, sementara tidak pernah ada jalan mudah untuk membangkitkan kembali karakter yang sudah mati.***