Teorinya, bagi orang Batak, hidup sepenuhnya berkat karunia Mulajadi Na Bolon. Kelahiran, kesehatan, kemakmuran, dan kematian sepenuhnya adalah berkat Tuhan.
Maka relasi vertikal dengan Tuhan harus tetap dipelihara melakui ritual tortor/ gondang itu. Tujuannya mohon kehidupan yang cerah, atau ringkasnya, “hamoraon, hagabeon, hasangapon” (kaya, sukses, mulia).
Karena tortor dengan gondangnya adalah sebuah proses komunikasi doa dari orang Batak kepada Mulajadi Na Bolon, maka gerak tortor sejatinya adalah sebuah pakem “bahasa yang memuliakan”.
Itu sebabnya pola gerak tortor sangat sederhana, tanpa kembangan, untuk memastika kejelasan dan ketegadan makna.
Perhatikan gerak tortor didominasi gerak telapak tangan tertangkup (sembah), terbuka ke depan (menyampaikan berkat), dan terbuka menghadap diri (menerima berkat). Sedangkan gerak kaki didominasi oleh “urdot” (hentakan telapak depan), seirama bunyi gondang (khusunya instrumen gong).
Itu semua gerakan santun, serba terukur. Tangan tak boleh lewat di atas kepala, karena itu bermakna tantangan kepada Tuhan atau penguasa. Pinggul tidak boleh melenggok, mata tak boleh jelalatan, karena mengesankan kurang ajar.
Jadi manortor itu tegak khidmat saja, mata lurus memandang ke depan atau ke tanah. Berkomunikasi dengan Mulajadi Na Bolon haruslah penuh khidmat.
Karena tortor adalah bentuk komunikasi, antara manusia dan Tuhan, maka dia disosialisasikan dalam komunitas Batak. Anak tak diajari secara khusus, tapi belajar dengan melihat, meniru, dan mempraktekkannya sendiri.
Tortor tidak sulit karena gerakkannya amat bersahaja. Sehingga orang bukan-Batak juga bisa dengan cepat menirunya. Bandingkan dengan tari Jawa atau Bali.
Jadi, kalau melihat orang Batak manortor dalam sebuah gondang, jangan bilang dia menari. Tidak, dia tidak menari. Tapi sedang berdoa.(*)