Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orang Batak Tidak Menari

6 Desember 2016   12:31 Diperbarui: 6 Desember 2016   12:54 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Manortor di Toba (merdeka.com)

Tapi “manortor”. Dan tortor bukanlah tari. Maka manortor bukanlah menari.

Lantas, bagi orang Batak (Toba),  kalau bukan tari atau menari, apakah tortor atau manortor itu? 

Tortor bagi orang Batak adalah sebuah ritual. Ritual pemanggungan relasi vertikal  orang Batak dengan “Mulajadi Na Bolon”, Awal Mula Yang Agung, atau “Debata”, Tuhan Yang Maha Kuasa. 

Menyatu dengan komposisi  bebunyian “gondang” Batak, tortor  sejatinya  adalah peristiwa religius. Sebuah “repertoar” doa permohonan, harapan  kehidupan yang baik, kepada “Mulajadi Na Bolon”.

Karena itu, setiap ritual tortor atau gondang Batak selalu diawali dengan permintaan dari “hasuhuton” (tuan rumah gondang), dan  tamu “panortor” (pelakon tortor)  kepada “pargonsi” (pemain gondang), agar kehadiran mereka terlebih dahulu diumumkan kepada “Debata Mulajadi Na Bolon”.

Ritual tortor dengan gondang itu, pada dasarnya adalah sebuah repertoar yang memanggungkan “teori kehidupan” orang Batak. Teori kehidupan yang dinyatakan dalam bentuk tortor yang terintegrasi pada lazimnya 7 gondang.

Pertama adalah “Gondang Mula-mula”, permohonan restu kepada Mulajadi Na Bolon, Tuhan Yang Maha Kuasa. Gerak tortornya hanya menangkupkan telapak tangan di depan dada penuh khidmat.

Kedua, “Gondang Somba-somba”, pernyataan sembah kepada Mulajadi Nabolon. Sekaligus juga kepada “hula-hula” yang diyakini sebagai “Debata Na Tarida”, Tuhan Yang Kelihatan atau representasi Tuhan di dunia.

Ketiga adalah kelompok “Gondang Pasu-pasu” (Gondang Berkat). Lazimnya tiga nomor yaitu “”Gondang Marmeme” (Meloloh), mohon banyak keturunan. Dilanjutkan “Gondang Marorot” (Membesarkan), mohon keturunan sehat walafiat. Lalu “Gondang Saudara” (Sejahtera), mohon kemakmuran bagi keturunan dan kerabat.

Keempat, “ Gondang Sitio-tio” (Jernih), harapan semua permohonan terkabul demi masa depan cerah (“tio”). Lalu ditutup dengan “Gondang Hasahatan” (Penutup), harapan semua permohonan segera digenapkan Tuhan, yang diakhiri dengan teriakan bersama, “Horas! Horas! Horas!”

Jika disimak, tampak urutan tortor/gondang itu sebenarnya pemanggungan “teori kehidupan sejahtera” yang dilakoni orang Batak. Dengan kata lain pemanggungan “teori yang hidup”. 

Teorinya, bagi orang Batak, hidup sepenuhnya berkat karunia  Mulajadi Na Bolon. Kelahiran, kesehatan, kemakmuran, dan kematian sepenuhnya adalah berkat Tuhan.

Maka relasi vertikal dengan Tuhan harus tetap dipelihara melakui ritual tortor/ gondang itu. Tujuannya mohon kehidupan yang cerah,  atau ringkasnya, “hamoraon, hagabeon, hasangapon” (kaya, sukses, mulia).

Karena tortor dengan gondangnya adalah sebuah proses komunikasi doa dari orang Batak kepada Mulajadi Na Bolon, maka gerak tortor sejatinya adalah sebuah pakem “bahasa yang memuliakan”.

Itu sebabnya pola gerak tortor sangat sederhana, tanpa kembangan, untuk memastika kejelasan dan ketegadan makna.

Perhatikan gerak tortor didominasi gerak telapak tangan tertangkup (sembah), terbuka ke depan (menyampaikan berkat), dan terbuka menghadap diri (menerima berkat). Sedangkan gerak kaki didominasi oleh “urdot” (hentakan telapak depan), seirama bunyi gondang (khusunya instrumen gong).

Itu semua gerakan santun, serba terukur. Tangan tak boleh lewat di atas kepala, karena itu bermakna tantangan kepada Tuhan atau penguasa. Pinggul tidak boleh melenggok, mata tak boleh jelalatan, karena mengesankan kurang ajar.

Jadi manortor itu tegak khidmat saja, mata lurus memandang ke depan atau ke tanah. Berkomunikasi dengan Mulajadi Na Bolon haruslah penuh khidmat.

Karena tortor adalah bentuk komunikasi, antara manusia dan Tuhan, maka dia disosialisasikan dalam komunitas Batak. Anak tak  diajari secara khusus, tapi belajar dengan melihat, meniru, dan mempraktekkannya sendiri.

Tortor tidak sulit karena gerakkannya amat bersahaja. Sehingga orang bukan-Batak juga bisa dengan cepat menirunya. Bandingkan dengan tari Jawa atau Bali.

Jadi, kalau melihat orang Batak manortor dalam sebuah gondang, jangan bilang dia  menari. Tidak, dia tidak menari. Tapi sedang berdoa.(*)

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun