Maka gereja HKBP kemudian dikenal sebagai “Gereja Bernyanyi” (The Singing Church). Selain umat bernyanyi bersama, ada pula nyanian kelompok-kelompok koor. Kalau ikut kebaktian Minggu di gereja HKBP, maka kita akan disuguhi sajian nyanyian oleh Koor Ina (Ibu), Koor Ama (Bapak), Koor Naposobulung (Pemuda-Pemudi), Koor Pararikamis (para janda yang rutin kumpul tiap Kamis), Koor Parhalado (Majelis Gereja), dan lain-lain. Seperti sedang festival koor layaknya.
Kebiasaan menyanyi di gereja itu lalu menular ke tengah masyarakat. Saat upacara kematian misalnya, ada kelompok koor juga yang bernyanyi lagu-lagu penghiburan. Begitu pula di lapo tuak, kebiasaan menyanyi bersama itu tumbuh sumbur. Makanya di lapo tuak biasanya tersedia gitar. Lagu-lagu yang dilantunkan tentu bukan lagu gereja, tapi lagu-lagu pop Batak semacam “Lissoi”, “Mitu” (Minum Tuak), dan “Pasorion ni Parmitu” (Derita Peminum Tuak).
Tapi yang paling mengesankan, sampai awal 1980-an kebiasaan menyanyi itu terbawa juga sampai ke angkutan umum (penumpang). Tahun 1970-an, jika kita naik bus dari Siantar ke Balige (bus “Betahamu”), atau ke Doloksanggul (bus “Sanggulmas”), atau ke Tarutung (bus “Martimbang”), maka kita akan menjadi anggota koor dadakan di dalam bus. Biasanya ada saja seorang ibu tua yang siap dengan “Buku Ende” (Buku Nyanyian Gereja) dan mulai memimpin koor dari tempat duduknya. Pertama-tama yang bernyanyi hanya 4-5 orang. Tapi pada lagu kedua biasanya seluruh penumpang sudah ikut bernyanyi, lengkap dengan “pecah suara”. Lazimnya koor dimulai ketika bus memasuki wilayah “Tombak Ganjang” (Hutan Panjang) yang sepi, antara Siantar dan Parapat, dan berlanjut sampai menjelang Parapat. Jeda sebentar, nanti lanjut lagi secara berkala.
Hebatnya, pada waktu itu ada jenis klakson bus yang bisa dimainkan seperti terompet dengan nada diatonis. Supir-supir tertentu bisa memainkan klakson itu seoerti trompet untuk mengiringi nyanyian penumpangnya. Suasana sepanjang jalan jadinya menjadi semarak dengan pujian. Ini semacam doa mohon selamat di perjalanan juga.
Sayang kebiasaan bernyanyi dalam bus itu memudar awal 1980-an bersamaan merebaknya teknologi taperecorder ke dalam bus. Nyanyian gereja digantikan oleh lagu-lagu pop Batak yang disetel keras-keras oleh Pak Supir. Suara Eddy Silitonga, Rita Butarbutar, Trio Lasidos, Trio Amsisi dan sebagainya hadir mengisi ruang publik.
Terkait lantunan lagu Batak yang memenuhi ruang publik itu, saya teringat lagu “Surat Na Rara” (Surat Merah), sebuah hit Trio Golden Heart pertengahan 1970-an. Waktu itu saya ada di Siantar. Tiap kali keluar jalan kaki ke pusat kota, hampir tiap 20 meter terdengar lantunan lagu itu dari rumah-rumah sepanjang jalan. Udara Siantar waktu itu dipenuhi lantunan “Surat Na Rara”. Ini lagu tentang jeritan hati seorang gadis yang terlanjur menyerahkan kehormatannya kepada pemuda idaman yang kemudian menjadi “perantau hanyut” (di Jawa).
Lalu apa urgensinya saya menulis tentang budaya nyanyi orang Batak ini?
Sekali lagi kaitannya dengan rencana pengembangan kawasan wisata kelas dunia Danau Toba. Budaya nyanyi itu layak dipertimbangkan sebagai potensi wisata juga. Sama halnya seperti budaya tari di Bali, misalnya. Mengajak wisatawan bernyanyi bersama, dalam bus wisata atau di kedai minum khas Batak, bisa menjadi hiburan yang unik dan menarik minat wisatawan.
Saya jadi teringat pada Hermann Delgado, wisatawan asal Austria yang kini menjadi penyanyi lagu Batak, yang kerap menggelar konser di Austria. Menurut kisahnya, Delgado jatuh cinta pada lagu Batak gara-gara mendengar sekelompok orang bernyanyi di sebuah lapo di Pangururan, Samosir.
Jadi, orang-orang Batak, Anda semua adalah suku penyanyi yang hebat. Mari, kembangkan potensi itu untuk memberi warna khas pada wisata Danau Toba.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H