Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Orang Batak Itu Suku Penyanyi

30 September 2016   10:03 Diperbarui: 8 Oktober 2016   10:23 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lissoiii...parmitu sedang bernyanyi di lapo tuak (batakgaul.com)

 

Argumen kocak ini pernah dialamatkan seorang kawan pada saya. “Orang Batak jago nyanyi. Kamu gak bisa nyanyi. Maka kamu bukan orang Batak.” 

Alamaaak…! Sungguh malang nasib orang Batak (Toba) yang tak bisa nyanyi.

Label “jago nyanyi” memang seolah sudah lekat pada suku (etnis) Batak. Mungkin awalnya merujuk pada sejumlah komponis Batak yang menasional. Sebut misalnya Cornel Simanjuntak (Maju Tak Gentar), Liberty Manik (Satu Nusa Satu Bangsa), Nortir Simanungkalit (Senam Kesegaran Jasmani), Amir Pasaribu (Andika Bhayangkara), Alfred Simanjuntak (Bangun Pemuda Pemudi), Binsar Sitompul (Bhinneka Tunggal Ika), dan E.L. Pohan (Tanah Air Indonesia, Mars KORPRI).

Jangan dilupakan pula para komponis Lagu Batak yang legendaris. Seperti Nahum Situmorang (Lissoi, Marragam-ragam), Sidik Sitompul (Anju Ahu, O Tano Batak), Ismail Hutajulu, dan Tilhang Gultom (Sinanggartullo).

Label “Batak Penyanyi” yang diterakan para komponis itu kemudian disempurnakan para artis penyanyi etnis Batak yang menasional. Mulai dari D’Mercys (personel utamanya Charles Hutagalung dan Rinto Harahap yang fenomenal), Panbers, sampai Hutauruk Sisters (Berlian Hutauruk dan saudari-saudarinya). Mulai dari Eddy Silitonga, Victor Hutabarat, Diana Nasution, Christine Panjaitan, Sandro Tobing, Rio Febrian, Marcell Siahaan, sampai Judika.

Itu semua dilengkapi lagi oleh puluhan “trio” penyanyi lagu-lagu pop Batak yang rajin pentas di berbagai kesempatan. Tiga di antaranya yang paling terkenal adalah Trio Golden Heart, Trio Lasidos, dan Trio Amsisi. Dan yang terbesar dari ketiganya adalah Trio Golden Heart, yang telah bubar akhir 1970-an.

Tapi orang Batak tentu saja tidak dilahirkan sebagai suku penyanyi. Argumen pembuka tulisan ini jelas sebuah sesat pikir.

Label “suku penyanyi” yang dilekatkan pada orang Batak itu hasil sosialisasi. Prosesnya terutama berlangsung di gereja, khususnya gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).  Mayoritas orang Batak (Toba) adalah jemaat HKBP.

Riwayatnya bisa dirujuk ke tahun 1860-an ketika zendeling Reinische Missionsgessellschaft (RMG) Jernan, Dr. Ludwig I. Nommensen yang digelari “Apostel Batak” mulai menebar benih kekristenan (Protestan) di Tanah Batak. HKBP sendiri baru resmi tetbentuk sebagai gereja otonom tahun 1931.

Penyebaran benih gereja Protestan di Tanah Batak itu dibarengi penyebaran lagu-lagu gerejani versi Jerman yang bertangga nada diatonis. Maka sejak itu kebaktian Minggu di gereja-gereja Kristen Protestan awal hingga era HKBP selalu dipenuhi oleh lagu-lagu pujian kepada Tuhan. Kelak alat musik pengiringnya, organ (“poti marende”, peti bernyanyi) dan juga gitar, diproduksi di Sipoholon, Tarutung.

Maka gereja HKBP kemudian dikenal sebagai “Gereja Bernyanyi” (The Singing Church). Selain umat bernyanyi bersama, ada pula nyanian kelompok-kelompok koor. Kalau ikut kebaktian Minggu di gereja HKBP, maka kita akan disuguhi sajian nyanyian oleh Koor Ina (Ibu), Koor Ama (Bapak), Koor Naposobulung (Pemuda-Pemudi), Koor Pararikamis (para janda yang rutin kumpul tiap Kamis), Koor Parhalado (Majelis Gereja), dan lain-lain. Seperti sedang festival koor layaknya.

Kebiasaan menyanyi di gereja itu lalu menular ke tengah masyarakat. Saat upacara kematian misalnya, ada kelompok koor juga yang bernyanyi lagu-lagu penghiburan.  Begitu pula di lapo tuak, kebiasaan menyanyi bersama itu tumbuh sumbur. Makanya di lapo tuak biasanya tersedia gitar. Lagu-lagu yang dilantunkan tentu bukan lagu gereja, tapi lagu-lagu pop Batak semacam “Lissoi”, “Mitu” (Minum Tuak), dan “Pasorion ni Parmitu” (Derita Peminum Tuak).

Tapi yang paling mengesankan, sampai awal 1980-an kebiasaan menyanyi itu terbawa juga sampai ke angkutan umum (penumpang). Tahun 1970-an, jika kita naik bus dari Siantar ke Balige (bus “Betahamu”), atau ke Doloksanggul (bus “Sanggulmas”), atau ke Tarutung (bus “Martimbang”), maka kita akan menjadi anggota koor dadakan di dalam bus. Biasanya ada saja seorang ibu tua yang siap dengan “Buku Ende” (Buku Nyanyian Gereja) dan mulai memimpin koor dari tempat duduknya. Pertama-tama yang bernyanyi hanya 4-5 orang. Tapi pada lagu kedua biasanya seluruh penumpang sudah ikut bernyanyi, lengkap dengan “pecah suara”. Lazimnya koor dimulai ketika bus memasuki wilayah “Tombak Ganjang” (Hutan Panjang) yang sepi, antara Siantar dan Parapat, dan berlanjut sampai menjelang Parapat. Jeda sebentar, nanti lanjut lagi secara berkala.

Hebatnya, pada waktu itu ada jenis klakson bus yang bisa dimainkan seperti terompet dengan nada diatonis. Supir-supir tertentu bisa memainkan klakson itu seoerti trompet untuk mengiringi nyanyian penumpangnya. Suasana sepanjang jalan jadinya menjadi semarak dengan pujian. Ini semacam doa mohon selamat di perjalanan juga.

Sayang kebiasaan bernyanyi dalam bus itu memudar awal 1980-an bersamaan merebaknya teknologi taperecorder ke dalam bus. Nyanyian gereja digantikan oleh lagu-lagu pop Batak yang disetel keras-keras oleh Pak Supir. Suara Eddy Silitonga, Rita Butarbutar, Trio Lasidos, Trio Amsisi dan sebagainya hadir mengisi ruang publik.

Terkait lantunan lagu Batak yang memenuhi ruang publik itu, saya teringat lagu “Surat Na Rara” (Surat Merah), sebuah hit Trio Golden Heart pertengahan 1970-an. Waktu itu saya ada di Siantar. Tiap kali keluar jalan kaki ke pusat kota, hampir tiap 20 meter terdengar lantunan lagu itu dari rumah-rumah sepanjang jalan. Udara Siantar waktu itu dipenuhi lantunan “Surat Na Rara”. Ini lagu tentang jeritan hati seorang gadis yang terlanjur menyerahkan kehormatannya kepada pemuda idaman yang kemudian menjadi “perantau hanyut” (di Jawa).

Lalu apa urgensinya saya menulis tentang budaya nyanyi orang Batak ini?

Sekali lagi kaitannya dengan rencana pengembangan kawasan wisata kelas dunia Danau Toba. Budaya nyanyi itu layak dipertimbangkan sebagai potensi wisata juga. Sama halnya seperti budaya tari di Bali, misalnya. Mengajak wisatawan bernyanyi bersama, dalam bus wisata atau di kedai minum khas Batak, bisa menjadi hiburan yang unik dan menarik minat wisatawan.

Saya jadi teringat pada Hermann Delgado, wisatawan asal Austria yang kini menjadi penyanyi lagu Batak, yang kerap menggelar konser di Austria. Menurut kisahnya, Delgado jatuh cinta pada lagu Batak gara-gara mendengar sekelompok orang bernyanyi di sebuah lapo di Pangururan, Samosir.

Jadi, orang-orang Batak, Anda semua adalah suku penyanyi yang hebat. Mari, kembangkan potensi itu untuk memberi warna khas pada wisata Danau Toba.(*) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun