Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Orang "Batak Dalam" dan "Batak Luar", Apa Bedanya?

11 September 2016   12:58 Diperbarui: 11 September 2016   18:39 1769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah 'Batak Dalam' dan 'Batak Luar' tidak ada dalam khasanah etnologi, antropologi, atapun sosiologi. Itu sepenuhnya istilah karangan saya. Untuk menggambarkan dikotomi orang Batak secara sosiologis.

Tapi harus saya akui, penggunaan dikotomi 'dalam' dan 'luar' bukan hal yang sepenuhnya baru. Antropolog Clifford Geertz telah menggunakan dikotomi 'Indonesia Dalam' dan 'Indonesia Luar' untuk membedakan ekologi budaya sawah (umumnya Jawa) dan budaya perladangan (umumnya Luar Jawa).

Dikenakan pada etnis tertentu, kita tahu ada dikotomi Baduy Dalam dan Baduy Luar. Itu untuk membedakan kelompok Baduy yang tinggal sebagai pelestari budaya asli di kampung asli, dan kelompok Baduy yang tinggal di luar kampung asli, karena adanya batasan ekologi budaya terkait jumlah keluarga di kampung asli. Dikotomi ini sekaligus mencerminkan perbedaan karakter budaya: Baduy Dalam 'tertutup', Baduy Luar 'terbuka'.

Pengenaan dikotomi 'dalam–luar' pada orang (etnis) Batak (Toba) harus dirujuk ke proses sosiologis pembentukan masyarakat Batak. 

Ambil contoh Desa (Huta) Nainggolan, Samosir. Ini adalah desa (tanah) milik dan wilayah kekuasaan marga Nainggolan, sebagai 'marga raja' yang meraja (memerintah) di situ, disebut Raja Huta.  Artinya, kaum bermarga Nainggolan adalah Batak Dalam di di situ.

Jika ada warga marga lain, misalnya Sinaga, yang diterima tinggal di desa Nainggolan itu, maka orang itu diposisikan sebagai orang luar. Dia tidak punya hak milik tanah dan hak memerintah di situ. Dengan begitu dia tergolong Batak Luar.

Tapi bukan itu kelompok Batak Luar yang terpenting, tapi kelompok orang  Batak yang membuka kampung baru di luar kampung asli/asal, disebut 'parserahan' (perantauan) orang Batak.

Pada awal mulanya, perantauan itu terjadi di wilayah Tanah Batak sendiri. Dari kampung asli ke wilayah baru yang masih kosong. Demikian berlangsung terus hingga orang Batak (Toba) menyebar dari Toba/Samosir ke selatan (Angkola), utara (Simalungun), timur (Asahan), dan  barat (Dairi). Sejak tahun 1920-an diaspora Batak mulai merambah daerah Deli/Medan dan kemudian Batavia/Jakarta atau Jawa umumnya.

Motif merantau adalah pencarian ruang hidup baru yang lebih baik, karena daya dukung sosial dan ekonomi pertanian (sawah lembah) Toba yang telah mencapai ambang. Ini seperti Baduy yang mengirim kelebihan penduduknya ke luar Desa Baduy Dalam. Mekanisme merantau semacam itu menghindarkan orang Batak dari perangkap involusi pertanian, gejala berbagi kemiskinan ala petani Jawa menurut Geertz.

Khas perantau Batak, khususnya ke Deli/Medan dan Jawa adalah orang-orang pilihan, dalam arti terpelajar dan atau punya daya saing. Kurang lebih semacam brain drain, sehingga ada dugaan yang tertinggal di Tanah Batak adalah warga kelas dua.

Dalam perkembangannya kelompok perantau itu banyak yang sukses secara sosial, ekonomi, dan politik. Sebagian adalah tokoh-tokoh pemerintah, militer, polisi, pengusaha, politik, ilmuwan/intelektual,  dan hukum tingkat regional, nasional, dan internasional.

Perantau Batak di luar Tanah Batak itulah yang secara sosiologis saya kategorikan sebagai Batak Luar yang sesungguhnya. Sedangkan orang Batak yang tinggal menetap di Tanah Batak, disebut Bona Pasogit (Kampung Asal), adalah kategori Batak Dalam.

Di tanah rantau, kelompok sosial Batak Luar itu lazim mengorganisasi diri dalam punguan (himpunan, asosiasi) berdasar marga. Misalnya, Punguan Panjaitan dohot Boruna se-Jabodetabek (Himpunan orang Batak bermarga Panjaitan dan marga lain yang beristrikan putri Panjaitan). Setiap marga Batak di Jabodetabek, dan kota-kota lain di Indonesia punya himpunan semacam itu. Bahkan lingkup himpunannya bisa sampai taraf nasional dan dunia.

Menariknya, Batak Luar dan 'Batak Dalam' itu tersambung sama lain. Tidak saja secara kultural, tetapi terutama secara sosial, ekonomi, dan politik. 

Lebih menarik lagi, relasi itu cenderung asimetris. Batak Luar cenderung lebih kuat secara sosial, ekonomi, dan politik ketimbang Batak Dalam. Maka Batak Luar cenderung tampil dominan, superior. Sedangkan Batak Dalam menjadi subordinat, inferior.

Contoh-contoh berikut dapat memperjelas. Di bidang sosial, jika orang Batak Dalam menghadapi masalah hukum, misalnya sengketa tanah, maka mereka akan meminta dukungan dari Batak Luar praktisi hukum, misalnya hakim, jaksa, atau pengacara top di Jakarta.

Di bidang ekonomi, jika orang Batak Dalam mengalami masalah ekonomi, maka mereka akan minta dukungan juga kepada Batak Luar yang sukses, misalnya dukungan modal usaha. Sudah dari awal pula Batak Luar menjadi sumber pendapatan bagi Batak Dalam, khususnya melalui kiriman uang (remittance) rutin, berkala, atau insidental.

Di bidang politik, Batak Luar khususnya tokoh-tokoh partai politik adalah patron bagi Batak Dalam yang terposisikan sebagai klien. Batak Dalam adalah basis pendukung (konstituen) politik bagi politisi Batak Luar. 

Dapat dikatakan, relasi Batak Dalam dan Batak Luar cenderung berupa relasi ketergantungan. Ringkasnya, orang Batak Dalam tergantung secara sosial, ekonomi, dan politik kepada orang Batak Dalam. Sementara Batak Dalam sendiri hanya sebagai kiblat budaya (adat) bagi Batak Dalam.

Dominasi Batak Luar di satu sisi, dan ketergantungan Batak Dalam pada Batak Luar di lain sisi, memiliki dampak negatif dan positif sekaligus. Dampak negatifnya, Batak Dalam cenderung kurang inisiatif dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan politik. Terlalu berharap pada inisiatif Batak Luar untuk membangun Bona Pasogit masing-masing.

Dampak positifnya, Batak Luar memang menjadi sumber modal sosial, ekonomi, dan politik untuk pembangunan Bona Pasogit. Dalam praktiknya, pembangunan sosial sangat menonjol, misalnya pembangunan sekolah unggulan, antara lain SMA Unggulan Soposurung Balige dan Institut Teknologi Del Laguboti.

Dominasi Batak Luar dan ketergantungan Batak Dalam seyogyanya dikoreksi. Idealnya adalah relasi simetris antara keduanya. Jika tidak, pembangunan Batak Dalam akan didikte oleh Batak Luar. 

Tanda-tanda ke arah itu sudah terbaca. Sebagai contoh, Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba di Balige (28/8/16) yang lalu sepenuhnya dikendalikan oleh Batak Luar. Bahkan sampai soal busana juga ditentukan Batak Luar, sehingga sampai terjadi 'tragedi ikat kepala Presiden Jokowi' (pakai wig putih, yang tak pernah ada dalam khasanah busana Batak). 

Sudah saatnya Batak Dalam dan Batak Luar duduk sama rendah, berembug secara demokratis di 'partungkoan' (tempat musyawarah), untuk merumuskan posisi dan peran yang selayaknya bagi masing-masing kelompok sosial tersebut. Sebab jika tidak, ada kekhawatiran, orang Batak Dalam hanya akan menjadi penonton pembangunan saja. Katakan misalnya dalam pembangunan kawasan wisata kelas dunia Danau Toba yang sedang digadang-gadang.

Pada akhirnya, harus saya katakan, pandangan saya tentang Batak Dalam dan Batak Luar berikut relasi antar keduanya, terbuka untuk diperdebatkan. Pandangan itu sebaiknya dianggap sebagai hipotesis yang masih harus diverifikasi atau sebaliknya difalsifikasi.

Berdebat untuk kemajuan bersama, mestinya adalah tabiat baik orang Batak, bukan? Horas! (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun