Tanda-tanda ke arah itu sudah terbaca. Sebagai contoh, Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba di Balige (28/8/16) yang lalu sepenuhnya dikendalikan oleh Batak Luar. Bahkan sampai soal busana juga ditentukan Batak Luar, sehingga sampai terjadi 'tragedi ikat kepala Presiden Jokowi' (pakai wig putih, yang tak pernah ada dalam khasanah busana Batak).Â
Sudah saatnya Batak Dalam dan Batak Luar duduk sama rendah, berembug secara demokratis di 'partungkoan' (tempat musyawarah), untuk merumuskan posisi dan peran yang selayaknya bagi masing-masing kelompok sosial tersebut. Sebab jika tidak, ada kekhawatiran, orang Batak Dalam hanya akan menjadi penonton pembangunan saja. Katakan misalnya dalam pembangunan kawasan wisata kelas dunia Danau Toba yang sedang digadang-gadang.
Pada akhirnya, harus saya katakan, pandangan saya tentang Batak Dalam dan Batak Luar berikut relasi antar keduanya, terbuka untuk diperdebatkan. Pandangan itu sebaiknya dianggap sebagai hipotesis yang masih harus diverifikasi atau sebaliknya difalsifikasi.
Berdebat untuk kemajuan bersama, mestinya adalah tabiat baik orang Batak, bukan? Horas! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H