Kondisi itu mengingatkan saya pada mekanika fluida, khususnya kinetik. Yang terjadi di situ adalah turbulensi akibat bottle neck. Arus turbulensi itu tak terlihat, tapi teralami dalam rupa perlambatan. Semakin jauh ke belakang dari lampu merah, semakin besar angka perlambatannya. (Koreksi kalau saya keliru).
Begitu lampu hijau menyala, arus kendaraan langsung tumpah ke depan laksana banjir bandang. Termasuk ojek yang saya tumpangi, yang terseret laju ke depan sekalipun lampu merah telah menyala kembali.
Gejala turbulensi arus kendaraan semacam itu terjadi dua kali lagi. Satu kali lagi di depan pintu Senayan. Lalu sekali lagi di Benhil. Kondisinya serupa. Penyebabnya penyempitan ruas akibat pekerjaan konstruksi jalan.
Menang! Tepat pukul 9.00 WIB saya melangkah masuk ruang pertemuan berpendingin itu dengan peluh bercucuran. Orang pikir saya pasti baru pulang membajak dari sawah. Bodoh amat. Yang penting, saya memenangi pertarungan dengan Sang Waktu di ruas jalan yang terkenal sebagai “Pemangsa Waktu Terbuas se-Jakarta.”
Duduk di ruang berpendingin, saya membayangkan kembali pertarungan itu. Dengan bantuan hukum mekanika fluida, saya melihat jalur Blok M-Bundaran HI sebagai alur sungai.
Di alur itu saya mengalami ojek dan ribuan motor lain sebagai arus air sungai. Sedangkan ribuan mobil saya lihat sebagai bebatuan yang bergulir perlahan, kadang mandeg agak lama. Lalu motor-motor yang air itu menyelusup di semua celah yang terbuka di antara mobil-mobil yang bebatuan itu.
Maka, di terik pagi Jakarta, aku mengalami motor adalah air dan mobil adalah batu. Aku adalah bagian dari air itu, yang menelusup di celah-celah bebatuan, mengejar waktu tiba di muara.
Sore tadi, pulang dari Blok M, saya menyetir mobil ke selatan, berusaha menaklukkan kemacetan di ruas Antasari. Mendadak saya menemukan diri telah menjadi fosil, yang terperangkap dalam sebongkah batu mobil yang telah bening mengkristal, sehingga terlihat jelas dari luar. Di kiri, kanan, depan, dan belakang molekul-molekul air motor memaksa mengalir ke depan, menelusup setiap celah tiada hentinya.
Sungguh, saya baru sadar, seperti itulah eksistensi manusia di jalanan Jakarta, setiap pagi dan setiap sore. Menjadi air atau menjadi batu.
Bukankah soal itu jauh lebih menarik dan lebih penting ketimbang resafel Kabinet Jokowi?(*)