Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Motor adalah Air, Mobil adalah Batu

27 Juli 2016   22:22 Diperbarui: 28 Juli 2016   11:15 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Momen resafel Kabinet Jokowi mestinya menjadi peristiwa paling menarik hari ini, Rabu 27 Juli 2016.

Tapi ternyata tak begitu, setidaknya bagi saya.

Begitu duduk di ruang pertemuan berpendingin sebuah hotel bintang lima dekat Bundaran HI, rekan sebelah langsung pamer screen shot undangan pelantikan Menteri Baru dari Mensesneg. Disusul dengan daftar nama calon Menteri Baru. Kurang-lebih dua jam kemudian, seorang rekan menunjukkan daftar Menteri Baru yang sudah dilantik. Jadi, apanya yang menarik?

Maka, saya tak tertarik bicara suatu apapun soal resafel kabinet itu. Lagi pula, setelah membaca daftar itu sampai tiga kali, tak ada nama Felix Tani tercantum di dalamnya. Bahkan nama Pebrianov sekalipun tak ada di situ. 

Maka, lebih menarik bicara soal bagaimana cara saya  menaklukkan jarak Blok M – Bundaran HI dalam tempo 30 menit.

Ya, 30 menit. Waktu menunjukkan pukul 8.25 menit di Blok M. Jalur yang harus dilewati, Singamangaraja-Sudirman-Thamrin adalah jalur terpadat se-Jakarta pada jam itu. 

Hari ini sebenarnya hari pertama uji-coba nomor ganjil-genap di mantan jalur “three-in-one” itu. Walau nomor mobil saya ganjil, saya tak ambil kesempatan itu. Tidak ada jaminan jumlah mobil mendadak berkurang 50% lantaran uji-coba itu. Perkiraan saya, butuh sekurangnya 60 menit menempuh jarak itu dengan mobil.

Bus Transjakarta juga tak saya pilih. Ruas Blok M-Bundaran HI sedang berantakan lantaran pembangunan jalur LRT/MRT. Jalur “busway” jadi kacau juga, sebagian masuk jalur biasa. Jadi tak mungkin mencapai Bundaran HI dari Blok M dalam 30 menit dengan bus itu.

Maka pilihan paling rasional adalah ojek on-line. Saya sudah tunggu dari tadi. Lima menit lagi tiba menurut petunjuk di layar telepon cerdas.

Tepat pukul 8.30 WIB, saya mencangklong di jok ojek on-line. Pertarungan dengan Sang Waktu dimulai. Hanya 30 menit.

Memasuki ruas Sisingamangaraja, arus kendaraan masih lancar. Persis di depan Al Azhar, menjelang traffict light Bundaran Senayan, arus lalu-lintas langsung mandeg hebat. Iringan bus gandeng Transjakarta memotong jalur ke kiri masuk halte “darurat”. Lampu merah menyala di Bundaran Senayan. Arus mobil mandeg paten. Tapi arus motor masih mengalir perlahan menelusup di semua celah yang terbuka di antara gundukan-gundukan mobil. Begitu berlangsung puluhan detik, hingga semua celah benar-benar tertutup. Mandeg total.

Kondisi itu mengingatkan saya pada mekanika fluida, khususnya kinetik. Yang terjadi di situ adalah turbulensi akibat bottle neck. Arus turbulensi itu tak terlihat, tapi teralami dalam rupa perlambatan. Semakin jauh ke belakang dari lampu merah, semakin besar angka perlambatannya. (Koreksi kalau saya keliru).

Begitu lampu hijau menyala, arus kendaraan langsung tumpah ke depan laksana banjir bandang. Termasuk ojek yang saya tumpangi, yang terseret laju ke depan sekalipun lampu merah telah menyala kembali.

Gejala turbulensi arus kendaraan semacam itu terjadi dua kali lagi. Satu kali lagi di depan pintu Senayan. Lalu sekali lagi di Benhil. Kondisinya serupa. Penyebabnya penyempitan ruas akibat pekerjaan konstruksi jalan.

Menang! Tepat pukul 9.00 WIB saya melangkah masuk ruang pertemuan berpendingin itu dengan peluh bercucuran. Orang pikir saya pasti baru pulang membajak dari sawah. Bodoh amat. Yang penting, saya memenangi pertarungan dengan Sang Waktu di ruas jalan yang terkenal sebagai “Pemangsa Waktu Terbuas se-Jakarta.”

Duduk di ruang berpendingin, saya membayangkan kembali pertarungan itu. Dengan bantuan hukum mekanika fluida, saya melihat jalur Blok M-Bundaran HI sebagai alur sungai. 

Di alur itu saya mengalami ojek dan ribuan motor lain sebagai arus air sungai. Sedangkan ribuan mobil saya lihat sebagai bebatuan yang bergulir perlahan, kadang mandeg agak lama. Lalu motor-motor yang air itu menyelusup di semua celah yang terbuka di antara mobil-mobil yang bebatuan itu.

Maka, di terik pagi Jakarta, aku mengalami motor adalah air dan mobil adalah batu.  Aku adalah bagian dari air itu, yang menelusup di celah-celah bebatuan, mengejar waktu tiba di muara.

Sore tadi, pulang dari Blok M, saya menyetir mobil ke selatan, berusaha menaklukkan kemacetan di ruas Antasari. Mendadak saya menemukan diri telah menjadi fosil, yang terperangkap dalam sebongkah  batu mobil yang telah bening mengkristal,  sehingga terlihat jelas dari luar. Di kiri, kanan, depan, dan belakang molekul-molekul air motor memaksa mengalir ke depan, menelusup setiap celah tiada hentinya.

Sungguh, saya baru sadar, seperti itulah eksistensi manusia di jalanan Jakarta, setiap pagi dan setiap sore. Menjadi air atau menjadi batu.

Bukankah soal itu jauh lebih menarik dan lebih penting ketimbang resafel Kabinet Jokowi?(*)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun