Membaca istilah "anarkisme", mungkin langsung terbayang tindakan destruktif, melanggar tata-laku dan hukum. Misalnya terbayang demo anarkis, diwarnai kekerasan, penjarahan, dan lain sebagainya.
Dikenakan pada aktivitas tekstualisasi, atau penulisan fiksi dan non-fiksi, istilah anarkisme mungkin langsung menggiring pikiran tentang tulisan yang bertendensi negatif, semisal mengobarkan diskriminasi, permusuhan, kebencian, kekerasan, dan lain-lain yang sejenis. Juga disampaikan dengan bahasa yang provokatif dan kasar.
Tidak. Bukan seperti itu anarkisme tekstualisasi, atau penuangan pikiran ke dalam bentuk teks. Yang seperti itu bukan anarkisme, tapi barbarisme tekstualisasi. Hasilnya adalah teks bertendensi negatif dan banal. Sejumlah artikel yang bertendensi anti-Jokowi dulu, dan anti-Ahok kini, tergolong pada barbarisme tersebut.
Arti Anarkisme Tekstualisasi
Anarkisme tekstualisasi adalah pemerdekaan penulis dalam menentukan tema, topik, maksud, sumber, data, kata, kalimat, gaya bahasa, dan struktur tulisan ketika menuangkan pikirannya ke dalam bentuk teks.
Ringkasnya anarkisme tekstualisasi  menegaskan: "Aku menulis menurut caraku sendiri!" Bukan menurut cara guru, pelatih, atau mentor penulisan. Bukan pula menurut cara baku yang ditawarkan buku atau artikel teknik penulisan.
Kendati anarkisme tekstualisasi memberi kemerdekaan, tetap ada tiga rambu tekstualisasi yang harus dipatuhi. Tiga rambu itu adalah logika, etika, dan estetika.
Rambu Logika
Logika adalah pilar utama bangunan teks. Jika sebuah bangunan teks tidak logis, tidak masuk akal, maka dia gampang rubuh atau dirubuhkan. Ketak-logisan teks ini lazimnya disebut sebagai "logical fallacy" atau, dalam istilah awam, "sesat pikir".
Contohnya begini. Pernah ada artikel di Kompasiana yang menyalahkan Ahok lantaran Pondok Gede banjir. Ini tak masuk akal karena Pondok Gede itu bukan wilayah DKI Jakarta tapi Bekasi. Mengapa menyalahkan Ahok?
Atau contoh ini. Juga di Kompasiana, ada artikel yang menyimpulkan KPK melempem, karena tak menetapkan Ahok sebagai tersangka koruptor dalam kasus "Sumber Waras", padahal sudah diperiksa intensif. Ini tak masuk akal karena penulisnya sama sekali tak mengungkap apa hasil pemeriksaan KPK terhadap Ahok.
Rambu Etika
Logis saja tidak cukup. Sebuah teks atau tulisan juga harus etis, tidak menyerang, menyudutkan, merendahkan, atau menjelekkan pihak tertentu. Intinya teks tidak mempromosikan diskriminasi, permusuhan, kekerasan, kebencian, kejahatan, dan lain-lain sejenis.
Contoh kongkrit. Ada artikel yang, setidaknya implisit, menganjurkan penolakan pada Ahok sebagai Gubernur atau Calon Gubernur DKI Jakarta, karena dia Tionghoa dan Kristen atau "Kafir". Jelas tulisan itu diskriminatif, karena itu tidak etis.
Etika tak hanya menyangkut isi dan maksud, tapi juga soal bahasa penyampaian, soal pilihan kata dan kalimat. Ini memang tergantung jenis tulisan juga. Khusus untuk teks satiris, sarkasme dibolehkan, asalkan tak merendahkan ras, suku, gender, atau golongan tertentu.
Tapi sesarkastis apapun sebuah teks anarkis, dia tetap tunduk pada rambu etika. Jika tak tunduk, berarti dia teks barbarian. Jika sebuah teks menghakimi langsung seorang wakil ketua DPR "(bl)oon", dan yang seorang lagi "sinting", dan itu terjadi di Kompasiana, maka itu adalah indikasi barbarisme.
Rambu Estetika
Jika sebuah teks sudah logis dan etis, maka kesempurnaan menjadi miliknya jika dia juga estetik. Artinya pilihan kata, tata bahasa, dan gaya ungkapnya mengandung nilai estetika. Sehingga terasa nikmat membacanya.
Rentang estetika itu panjang, sehingga tak perlu takut tak bisa memenuhinya. Mulai dari estetika bahasa matematis semacam rumus E=mc2-nya Albert Einstein sampai kalimat-kalimat puitis "Hujan Bulan Juni"-nya Sapardi  Djoko Damono.
Atau, mulai dari estetika lempeng kalimat "Ini Budi. Ini Ibu Budi"-nya Siti Rachmani Rauf, sampai estetika mbulet "Tragedi Winka dan Sihka"-nya Sutardji Calzoum Bachri.
Seseorang tak perlu menjadi penyair untuk bisa menuliskan selarik kalimat estetik. Sebab setiap orang memiliki nilai estetika dalam dirinya, sesederhana apapun itu. Maka dalam anarkisme tekstualisasi, tak ada alasan untuk tak bisa menyusun teks estetik.Â
Sampai di sini, mudah-mudahan sudah cukup jelas, apa itu anarkisme tekstualisasi. Juga, apa bedanya dengan barbarisme tekstualisasi.
Pada prinsipnya, dengan anarkisme tekstualisasi, seorang penulis menggoreskan "signature"-nya, yang membedakannya dari arus utama (mainstream) atau pola umum.
Seorang penegak anarkisme tekstualisasi bisa berkata, "Ini caraku menulis." Dan saat mengatakan itu, dia telah menyumbangkan sesuatu yang unik pada dunia teks.
Maka jangan ragu menegakkan anarkisme tekstualisasi. Atau, Anda lebih suka menegakkan barbarisme tekstualisasi?
Aku sendiri memilih yang pertama, menjadi seorang anarkis.(*)
Â
*)Tulisan ini terinspirasi oleh "Against Method"-nya Paul Feyerabend, tentang "anarkisme metodologi".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H