Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menegakkan Anarkisme Tekstualisasi

10 Juli 2016   15:47 Diperbarui: 11 Juli 2016   09:18 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Bustle.com

Rambu Etika

Logis saja tidak cukup. Sebuah teks atau tulisan juga harus etis, tidak menyerang, menyudutkan, merendahkan, atau menjelekkan pihak tertentu. Intinya teks tidak mempromosikan diskriminasi, permusuhan, kekerasan, kebencian, kejahatan, dan lain-lain sejenis.

Contoh kongkrit. Ada artikel yang, setidaknya implisit, menganjurkan penolakan pada Ahok sebagai Gubernur atau Calon Gubernur DKI Jakarta, karena dia Tionghoa dan Kristen atau "Kafir". Jelas tulisan itu diskriminatif, karena itu tidak etis.

Etika tak hanya menyangkut isi dan maksud, tapi juga soal bahasa penyampaian, soal pilihan kata dan kalimat. Ini memang tergantung jenis tulisan juga. Khusus untuk teks satiris, sarkasme dibolehkan, asalkan tak merendahkan ras, suku, gender, atau golongan tertentu.

Tapi sesarkastis apapun sebuah teks anarkis, dia tetap tunduk pada rambu etika. Jika tak tunduk, berarti dia teks barbarian. Jika sebuah teks menghakimi langsung seorang wakil ketua DPR "(bl)oon", dan yang seorang lagi "sinting", dan itu terjadi di Kompasiana, maka itu adalah indikasi barbarisme.

Rambu Estetika

Jika sebuah teks sudah logis dan etis, maka kesempurnaan menjadi miliknya jika dia juga estetik. Artinya pilihan kata, tata bahasa, dan gaya ungkapnya mengandung nilai estetika. Sehingga terasa nikmat membacanya.

Rentang estetika itu panjang, sehingga tak perlu takut tak bisa memenuhinya. Mulai dari estetika bahasa matematis semacam rumus E=mc2-nya Albert Einstein sampai kalimat-kalimat puitis "Hujan Bulan Juni"-nya Sapardi  Djoko Damono.

Atau, mulai dari estetika lempeng kalimat "Ini Budi. Ini Ibu Budi"-nya Siti Rachmani Rauf, sampai estetika mbulet "Tragedi Winka dan Sihka"-nya Sutardji Calzoum Bachri.

Seseorang tak perlu menjadi penyair untuk bisa menuliskan selarik kalimat estetik. Sebab setiap orang memiliki nilai estetika dalam dirinya, sesederhana apapun itu. Maka dalam anarkisme tekstualisasi, tak ada alasan untuk tak bisa menyusun teks estetik. 

Sampai di sini, mudah-mudahan sudah cukup jelas, apa itu anarkisme tekstualisasi. Juga, apa bedanya dengan barbarisme tekstualisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun