Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Brexit, Etika Mudik dan Lebaranisme

5 Juli 2016   22:20 Diperbarui: 5 Juli 2016   22:27 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Brexit, nama keren Brebes Exit untuk tol Pejagan-Brebes Timur, dengan momok kemacetannya yang teramat parah, hari-hari ini telah membuka jendela untuk melihat  adanya etika mudik yang berelasi dengan ekonomi Lebaranisme.

Dengan etika mudik dimaksudkan adalah etos dasariah. Itulah nilai utama yang menerakan makna pada ritus mudik, sebagai sebuah gejala sosial.  

Nilai utama mudik, termasuk mudik Lebaran, sejak dulu hingga kini, adalah rekonsiliasi total. Sifatnya menyeluruh: teologis, sosiologis, ekonomis, budaya, dan politis. 

Intinya, mudik adalah proses perdamaian dengan Tuhan dan sesama, khususnya kerabat dan tetangga sekomunitas. Juga proses jumbuh ekonomi, budaya, dan politik antara "rantau" (hilir/kota/maju) dan "asal" (udik/desa/tertinggal).

Implikatif, rekonsiliasi dalam mudik itu sesungguhnya bermakna sebagai puncak pernyataan kembali eksistensi pemudik di dalam komunitas asalinya. Secara teologis, sosiologis, ekonomis, budaya, dan politis sekaligus.

Pernyataan kembali eksistensi itu, dalam prakteknya, berimplikasi reposisi sosial, penempatan ulang posisi pemudik dalam komunitasnya. Reposisi dengan ekspektasi peningkatan dari tahun ke tahun. Dinyatakan obyektif dengan nilai zakat. Atau secara simbolik dengan sarana mudik: tahun ini motor, tahun depan mobil rental.

Karena itu bagi perantau, penghilir ke rantau "asing", mudik menjadi sesuatu yang eksistensial.  Mudik berarti eksis secara sosial, dianggap "ada" oleh komunitas asalinya. Tidak mudik berarti tidak eksis, dianggap "tidak ada".

Demi eksistensi sosial itu, berikut ekspektasi peningkatannya, mudik kemudian menjadi laku asketis, "bersakit-sakit demi kebaikan nanti" bagi perantau. Laku asketis yang dilakoni sepanjang tahun, sehingga mudik sejatinya bukanlah gejala temporal melainkan siklus annual.

Pada kasus mudik Lebaran, sebagai gejala annual, laku asketis mudik itu sesungguhnya sudah dimulai sejak hari pertama setelah Lebaran. Untuk kemudian berakhir tepat pada hari Lebaran.

Setahun penuh "bersakit-sakit" demi eksistensi sosial. Maka terjebak macet belasan bahkan puluhan jam di Brexit, bagi "pemudik sejati" adalah bagian dari laku asketisme itu. "Horor" kemacetan Brexit, harus dilewati apapun ongkosnya, karena hal itu akan menambah bobot asketisme, dan nilai tambah untuk eksistensi sosialnya. Tak ada jalan mudah untuk sebuah eksistensi.

Macet Brexit, bagi pemudik Lebaran, sesungguhnya hanyalah kerikil kecil dalam perjalanan setahun menuju rekonsiliasi total, pernyataan kembali eksistensi sosialnya, pada tingkatan yang lebih tinggi, sekurangnya dalam satu aspek kehidupannya. 

Pada titik ini, yaitu ketika bicara ekspektasi peningkatan eksistensi pemudik dalam komunitas asalinya, menjadi relevan memahami etika mudik sebagai etos kerja dalam melakoni ekonomi Lebaranisme.

Dengan ekonomi Lebaranisme dimaksudkan adalah tindakan-tindakan rasional ekonomis yang dituntun oleh semangat Lebaran. Dengan begitu, orientasi segala aktivitas ekonomi adalah pernyataan eksistensi sosial pada momentum Lebaran.

Implikasi semangat ekonomi Lebaranisme adalah kerja keras. Etika mudik lantas bekerja di situ sebagai etos kerja. Ekspektasi peningkatan eksistensi dari tahun ke tahun, yang terbuktikan pada momen mudik Lebaran, dalam prakteknya memacu perantau untuk bekerja dan bekerja lebih giat lagi.

Tanpa kerja keras, dan tanpa perbaikan kondisi sosial- ekonomi, mudik mungkin masih tetap bernilai rekonsiliasi, tapi jelas tak bernilai transformatif atau pencapaian eksistensi baru yang lebih tinggi. 

Itu sebabnya, mengapa sehari setelah Lebaran berlalu, pemudik sudah langsung berpikir tentang eksistensinya pada Lebaran mendatang.  Segala ikhtiar ekonomi lalu akan ditempuh, demi rekonsiliasi yang transformatif saat Lebaran nanti.

Dalam konteks etika mudik dan semangat ekonomi Lebaranisme ini, maka meributkan macet Brexit seolah-olah itu sebuah "bencana nasional", tak lebih dari pamer sikap cengeng, mental pecundang.

Semua pemudik sudah tahu Brexit macet, tapi tetap juga dijelang. Tahun depan, dan tahun depannya lagi, akan ada lagi horor macet serupa, dan pemudik akan tetap menjelangnya. Kenapa? Karena asketisme dalam ritus mudik, dan eksistensi dalam konteks Lebaranisme, tentu saja.

Jadi, pemerintah tak perlu terlalu menguras energi untuk mengatasi kemacetan a'la Brexit itu. Pemudik pasti berlalu dari situ. Lebih baik pemerintah memusatkan upayanya untuk mengembangkan ekonomi Lebaranisme.

Baiklah, takbir sudah berkumandang dari tadi. Cukup sampai di sini saya mengganggu kegembiraan Anda, pembaca yang berlebaran. Selamat merayakan Idul Fitri 1 Syawal 1437 H. Mohon maaf lahir dan bathin.(*)

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun