Pada titik ini, yaitu ketika bicara ekspektasi peningkatan eksistensi pemudik dalam komunitas asalinya, menjadi relevan memahami etika mudik sebagai etos kerja dalam melakoni ekonomi Lebaranisme.
Dengan ekonomi Lebaranisme dimaksudkan adalah tindakan-tindakan rasional ekonomis yang dituntun oleh semangat Lebaran. Dengan begitu, orientasi segala aktivitas ekonomi adalah pernyataan eksistensi sosial pada momentum Lebaran.
Implikasi semangat ekonomi Lebaranisme adalah kerja keras. Etika mudik lantas bekerja di situ sebagai etos kerja. Ekspektasi peningkatan eksistensi dari tahun ke tahun, yang terbuktikan pada momen mudik Lebaran, dalam prakteknya memacu perantau untuk bekerja dan bekerja lebih giat lagi.
Tanpa kerja keras, dan tanpa perbaikan kondisi sosial- ekonomi, mudik mungkin masih tetap bernilai rekonsiliasi, tapi jelas tak bernilai transformatif atau pencapaian eksistensi baru yang lebih tinggi.Â
Itu sebabnya, mengapa sehari setelah Lebaran berlalu, pemudik sudah langsung berpikir tentang eksistensinya pada Lebaran mendatang. Â Segala ikhtiar ekonomi lalu akan ditempuh, demi rekonsiliasi yang transformatif saat Lebaran nanti.
Dalam konteks etika mudik dan semangat ekonomi Lebaranisme ini, maka meributkan macet Brexit seolah-olah itu sebuah "bencana nasional", tak lebih dari pamer sikap cengeng, mental pecundang.
Semua pemudik sudah tahu Brexit macet, tapi tetap juga dijelang. Tahun depan, dan tahun depannya lagi, akan ada lagi horor macet serupa, dan pemudik akan tetap menjelangnya. Kenapa? Karena asketisme dalam ritus mudik, dan eksistensi dalam konteks Lebaranisme, tentu saja.
Jadi, pemerintah tak perlu terlalu menguras energi untuk mengatasi kemacetan a'la Brexit itu. Pemudik pasti berlalu dari situ. Lebih baik pemerintah memusatkan upayanya untuk mengembangkan ekonomi Lebaranisme.
Baiklah, takbir sudah berkumandang dari tadi. Cukup sampai di sini saya mengganggu kegembiraan Anda, pembaca yang berlebaran. Selamat merayakan Idul Fitri 1 Syawal 1437 H. Mohon maaf lahir dan bathin.(*)
Â
Â