Keikhlasan adalah Bunda Kegembiraan. Dan kegembiraan membuat kita kuat menahan beban apapun. Saya tidak mengarang kata-kata mutiara. Hanya sekadar mencoba menyarikan makna sebuah peristiwa kecil dalam hidup.
Kejadiannya tiga tahun lalu, tepatnya 2013. Waktu itu saya diminta satu perusahaan untuk memimpin satu unit riset dan pengembangan tanaman pangan di Subang, Jawa Barat. Keseluruhan stafnya berjumlah 20 orang, termasuk saya sebagai pimpinan.
Semua staf unit kerja saya adalah penganut Islam yang taat. Kecuali saya, tentu saja. Saya seorang Katolik, seorang diri.
Menjelang bulan Ramadhan 2013, setiap kantor lazimnya menyelenggarakan acara silaturahmi. Acara saling-memaafkan sebelum masuk bukan Ramadhan.
Saya pikir, unit kerja saya yang jauh dari kantor pusat di Jakarta, juga harus menjalankan ritual itu. Tapi ada masalah. Karena kendala finansil, Kantor Pusat tidak bisa menganggarkan dana untuk biayanya. Maka, setelah berupaya sendiri dengan rekan-rekan staf, berhasil juga terkumpul dana halal secukupnya. Maka acara silaturahmi akhirnya terlaksana juga.
Secara khusus, saya minta tolong staf untuk mengundang ustad setempat untuk membacakan doa dan memberikan tausiah.
Secara khusus pula saya minta izin kepada Pak Ustad untuk boleh ikut duduk mendengarkan taushiah dan doanya. Diizinkan dengan baik.
Entah karena Pak Ustad tahu ada seorang Katolik di antara hadirin, atau karena gayanya memang begitu, tausiahnya tidak banyak mengutip ayat Al-Quran dalam bahasa Arab. Jadi saya dapat memahami isinya dengan baik.
Intinya adalah perlunya keikhlasan hati dalam menghadapi segala kesulitan dalam hidup, agar kelak berbuah kegembiraan. Cocok dengan kondisi perusahaan tempat unit kerja saya berada. Sedang mengalami kesulitan finansil. Mungkin staf saya sebelumnya sudah membisiki Pak Ustad tentang masalah itu.
Maka staf saya memasuki bulan puasa dengan hati yang ringan. Sudah saling memaaafkan. Dan berjanji saling-menguatkan. Termasuk saya, harus menguatkan. Dengan tekad tidak makan di dalam kantor selama bulan Ramadhan.
Sepuluh hari menjelang tibanya Hari Raya Idul Fitri, Lebaran, unit kerja saya diramaikan oleh masalah Tunjangan Hari Raya (THR). Karena perusahaan sedang mengalami kesulitan finansil, maka THR hanya dapat diberikan 50% di depan, dan 50% lagi nanti setelah lebaran. Masalah yang lebih serius lagi, yang mendapatkan THR hanya staf tetap. Sedangkan tenaga kontrak tidak mendapatkan THR.
Kebijakan THR ini membuat kepala saya pusing tujuh keliling. Masalahnya ada delapan orang tenaga kontrak di unit kerja saya. Penghasilan mereka tak seberapa. Sehingga, bagi mereka, sedikit THR adalah rejeki besar yang dapat meringankan langkah dan memekarkan senyum menyambut Idul Fitri.
“Mereka harus mendapat THR, berapapun jumlahnya. Tapi bagaimana caranya?” Saya berkonsultasi pada tiga orang staf senior saya. Semua diam, saling berpandangan, seolah otak sudah buntu.
“Bagaimana kalau kita terapkan zakat profesi, Pak,” tiba-tiba salah seorang staf saya memberi saran solusi, memecah kebuntuan. “Apa itu zakat profesi,” tanya saya, bingung, baru dengar istilah itu.
Lantas staf saya menjelaskan apa itu zakat profesi. Saya tak yakin paham akan penjelasannya. Saya juga tak yakin penjelasannya benar atau tidak. Yang saya tangkap adalah intinya, yaitu menyisihkan sebagian pendapatan dari profesi kita untuk mereka yang sedang berkekurangan.
Saya pikir, itu dia solusinya. Staf lainnya juga setuju. Itu sangat mengharukan, sekaligus mengagumkan. Karena saya tahu persis, di tengah kondisi keuangan perusahaan yang sulit, pendapatan mereka, seperti saya juga, sebenarnya serba pas-pasan.
“Apakah saya boleh ikut memberikan zakat profesi untuk keperluan THR?” Saya bertanya pada staf saya, takut kesalahan.
“Boleh Pak. Asalkan ikhlas,” jawab staf saya dengan raut muka sedikit heran. “Tapi, apakah agama bapak membolehkan?” Dia bertanya lanjut. Saya jadi mengerti keheranannya.
“Oh, boleh,” jawab saya tanpa menjelaskan lebih lanjut. Saya tahu, dalam agama Nasrani ada istilah perpuluhan, menyisihkan 10% pendapatan untuk disumbangkan bagi sesama yang berkekurangan.
Tapi saya tak menjelaskan dalil perpuluhan ini. Selain itu tak penting, saya sendiri juga tak paham bagaimana formulanya. Yang penting, keikhlasan.
Singkat cerita, sejumlah zakat profesi untuk dana THR akhirnya terkumpul. Setiap staf tetap, termasuk saya, memberikan zakat profesinya. Jumlahnya, menurut staf saya yang puny ide itu, tak sesuai rumus. “Rumusnya keikhlasan saja,” katanya seolah meminta permakluman.
Saya sungguh tak paham apakah memberikan zakat profesi untuk THR itu benar atau salah, terutama berkenaan dengan saya yang Katolik. Saya hanya berpegang pada dalil staf saya, “keikhlasan”. Agar apa yang kita berikan, menjadi sumber kegembiraan bagi yang menerima.
Dan, sungguh, demikianlah yang terjadi. Saya hampir menitikkan air mata, melihat 8 pasang mata rekan-rekan tenaga kontrak itu berkerlip cerlang laksana bintang-bintang, pada hari mereka menerima amplop-amplop THR dari staf saya, setelah tiga hari dalam penantian tak pasti.
Dalam hati saya berkata, bahwa demi kegembiraan yang meluap dari rekan-rekan tenaga kontrak itu, saya rela menanggung akibatnya, apabila zakat profesi untuk THR itu adalah sebuah kesalahan, khususnya berkaitan dengan kekatolikan saya.(*)
*)Kepada rekan-rekan Muslim, saya mohon maaf apabila isi tulisan ini mengandung kesalahan atau sesuatu yang tak berkenan. Saya hanya sekadar berbagi pengalaman “ikhlas”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H