Membaca surat Ricky Elson (RE) kepada Dahlan Iskan (Catatan DI, 20/4/2016), sungguh menggetarkan hati. Sekaligus membuncahkan rasa bangga dan terimakasih atas kehadiran Ricky Elson di bumi nusantara.
Bukan kecerlangannya di bidang inovasi motor listrik yang terutama mengagumkan. Tapi perjuangan kerasnya, yang penuh liku dan tantangan, untuk menemukan dan membawa bayi “Penari Langit” dari Jepang ke Indonesia. Untuk kemudian “dibesarkan” di sini dan “dipanggungkan” koreografinya di pelosok pulau Sumba.
Benar, “Penari Langit” yang dimaksud adalah liukan ratusan kincir angin kecil pembangkit listrik di desa-desa Kalihi, Palindi, dan Tanarara, pulau Sumba. Koreografi “Penari Langit” itu telah menghasilkan listrik yang mencerahkan malam-malam yang tadinya kelam di desa-desa terpencil itu.
Yang paling mengesankan pada kehadiran para “Penari Langit” itu adalah gagasan humanisme yang menjiwainya. Humanisme dalam arti semangat untuk menentukan nasib dan mengembangkan diri dengan kekuatan sendiri sebagai manusia luhur yang merdeka.
Gagasan humanisme ini sangat relevan dengan visi kedaulatan (politik, ekonomi, sosial) yang dicanangkan Presiden Jokowi. Karena itu, penting memahami bagaimana RE meniupkan jiwa humanisme itu ke dalam koreografi “Penari Langit”, dan bagaimana prospek perkembangannya ke depan.
Humanisme Ushiyama
Dalam suratnya kepada DI, RE secara tidak langsung menjelaskan asal-usul humanisme yang menjiwai kiprah dan karyanya. Sumbernya adalah pesan humanis Prof. Izumi Ushiyama, guru besar kincir angin Jepang kepada RE langsung.
Prof. Ushiyama meminta RE untuk mewujudkan impiannya yang tak akan kesampaian yaitu “listrik untuk si miskin”. Secara spesifik, RE diminta mengembangkan kincir angin kecil yang murah. Untuk didedikasikan bagi 30 persen penduduk miskin dunia, khususnya di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia.
“Dream for world humanity”, demikian RE merumuskan mimpi Prof. Ushiyama. Itulah humanisme Ushiyama, yang menjiwai RE, menjiwai segala ikhtiar dan inovasi kelistrikannya.
Dengan semangat humanisme, RE telah membalik orientasi pengembangan teknologi kelistrikan. Dari tadinya berorientasi pada kepentingan industri besar dan negara maju (kaya), menjadi pada kepentingan rakyat kecil (miskin) dan negara sedang berkembang.
Lalu RE dan teman-temannya membesarkan dan mengembangkan bayi “penari langit” di “padepokan” Listrik Angin Nusantara (LAN), Ciheras, Tasikmalaya. Hasilnya adalah “Sistem Teknologi Taman Listrik Tenaga Angin (TLTA) Berbasis Kincir Angin Kecil”.
Sistem ini dicirikan oleh generator yang diklaim terkecil (magnet 200 gram), termurah, tapi terunggul di dunia. Mampu menghasilkan listrik pada kecepatan angin 3 m/detik. Baling-balingnya, kayu pinus rakitan lokal, juga kuat tapi sangat murah, sekitar setengah harga produk impor.
Tiap unit kincir angin kecil rakitan RE dan teman-temannya menghasilkan listrik 500 watt peak. Inilah sistem teknologi pertama dan terbaik yang pernah ada di dunia. Sebuah sistem yang, sesuai semangat humanismenya, sangat cocok dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat dan alam Indonesia.
Sistem itulah yang, dengan dukungan swadaya masyarakat setempat, diaplikasikan RE di desa-desa Kalihi, Palindi dan Tanarara pulau Sumba. Hasilnya, warga miskin di desa-desa terpencil itu kini telah menikmati listrik dan aneka kebaikan baru berkat listrik.
“Listrik untuk si miskin”, mimpi humanisme Ushiyama dan RE, untuk sebagian, telah menjadi kenyataan. Masyarakat Kalihi, Palindi dan Tanarara kini terangkat harga dirinya, karena merekakini bisa menyediakan dan mengurus sendiri kebutuhan listriknya. Itulah hakikat dasar humanisme.
Gerakan Menerangi Negeri
Koreografi “Penari Langit” di pelosok Sumba itu adalah kritik untuk Proyek Listrik 35,000 MW, yang bikin gaduh Kabinet Presiden Jokowi. Megaproyek itu jelas terutama untuk melayani kebutuhan listrik sektor industri. Tak ada semangat humanisme di situ, tetapi semangat kapitalisme.
Maka, pemenuhan kebutuhan “listrik untuk si miskin”, masih tetap berharap pada aksi humanistik, antara lain aksi RE dengan koreorafi “Penari Langit”-nya.
“Penari Langit” Kalihi, Palindi dan Tanarara tentu barulah langkah pertama bagi RE dan teman-teman voluntirnya. Terbaca dalam Facebook-nya (11/4/2015), RE telah menyanggupi tantangan Menteri ESDM, Sudirman Said untuk membangun TLTA di 1,700 “titik gelap” (blank point) Indonesia yang tak terjangkau PLN.
Syaratnya, Kementerian ESDM hanya perlu mencanangkan “Gerakan Pemuda Indonesia Menerangi Negeri“ yang melibatkan 5,000 orang anak muda. Melalui gerakan itu, berdasar pengalaman Sumba, RE memastikan 1,000 “titik gelap” akan terterangi per tahun. Sehingga 1,700 “titik gelap” akan bermandi listrik dalam dua tahun.
Gerakan yang digagas RE itu tampaknya adalah manifestasi keyakinannya “bahwa kita adalah anak-cucu bangsa yang hebat dari peradaban nusantara dengan segala sejarahnya, dan kesadaran bahwa kita memang mampu menjadi bangsa yang hebat” (Facebook, 5/3/2015).
DI sudah menikmati koreografi “Penari Langit” TLTA di pelosok Sumba sana. Sudirman Said juga sudah. Tapi Presiden Jokowi belum. Tampaknya, rute “blusukan” Presiden Jokowi perlu di arahkan ke sana, agar “Gerakan Pemuda Indonesia Menerangi Negeri” itu segera menjadi kenyataan.(*)