Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Humanisme dalam Koreografi "Penari Langit"

27 Juni 2016   15:49 Diperbarui: 27 Juni 2016   17:36 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sistem ini dicirikan oleh generator yang diklaim  terkecil (magnet 200 gram), termurah, tapi terunggul di dunia. Mampu menghasilkan listrik pada kecepatan angin 3 m/detik. Baling-balingnya,  kayu pinus rakitan lokal, juga kuat tapi sangat murah, sekitar  setengah harga  produk impor.

Tiap unit kincir angin kecil rakitan RE dan teman-temannya menghasilkan listrik 500 watt peak.  Inilah sistem teknologi pertama dan terbaik yang pernah ada di dunia.  Sebuah sistem yang, sesuai semangat humanismenya, sangat cocok dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat  dan alam Indonesia. 

Sistem itulah yang, dengan dukungan swadaya masyarakat setempat,  diaplikasikan RE di desa-desa Kalihi, Palindi dan Tanarara pulau Sumba.  Hasilnya, warga miskin di desa-desa terpencil itu kini telah menikmati listrik dan aneka kebaikan baru berkat listrik. 

“Listrik untuk si miskin”, mimpi humanisme Ushiyama dan RE, untuk sebagian, telah menjadi kenyataan.  Masyarakat Kalihi, Palindi dan Tanarara kini terangkat  harga dirinya, karena  merekakini  bisa menyediakan dan mengurus sendiri kebutuhan listriknya. Itulah hakikat dasar humanisme.

Gerakan Menerangi Negeri

Koreografi “Penari Langit” di pelosok Sumba itu adalah kritik untuk Proyek Listrik 35,000 MW, yang bikin gaduh Kabinet Presiden Jokowi. Megaproyek itu jelas terutama untuk melayani kebutuhan listrik sektor industri.  Tak ada semangat humanisme di situ, tetapi semangat kapitalisme. 

Maka, pemenuhan kebutuhan “listrik untuk si miskin”, masih tetap berharap pada aksi humanistik, antara lain aksi RE dengan koreorafi “Penari Langit”-nya.

“Penari Langit” Kalihi, Palindi dan Tanarara tentu barulah langkah pertama bagi RE dan teman-teman voluntirnya.  Terbaca dalam Facebook-nya (11/4/2015), RE telah menyanggupi tantangan Menteri ESDM, Sudirman Said untuk membangun TLTA  di 1,700  “titik gelap” (blank point) Indonesia yang tak terjangkau PLN.

Syaratnya, Kementerian ESDM hanya perlu mencanangkan  “Gerakan Pemuda Indonesia Menerangi Negeri“ yang melibatkan 5,000 orang anak muda.  Melalui gerakan itu, berdasar pengalaman Sumba, RE  memastikan  1,000 “titik gelap” akan terterangi per tahun.  Sehingga 1,700 “titik gelap” akan bermandi listrik dalam dua tahun.

Gerakan yang digagas RE itu  tampaknya  adalah manifestasi keyakinannya “bahwa kita adalah anak-cucu bangsa yang hebat dari peradaban nusantara dengan segala sejarahnya, dan kesadaran bahwa kita memang mampu menjadi bangsa yang hebat” (Facebook, 5/3/2015).

DI sudah menikmati koreografi “Penari Langit” TLTA di pelosok Sumba sana.  Sudirman Said juga sudah.  Tapi Presiden Jokowi belum.   Tampaknya, rute “blusukan” Presiden Jokowi perlu di arahkan ke sana, agar  “Gerakan Pemuda Indonesia Menerangi Negeri” itu segera menjadi kenyataan.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun