Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Negara, Bandit dan Rudapaksa: Hipotesis Tragedi Bengkulu

20 Mei 2016   13:28 Diperbarui: 20 Mei 2016   13:42 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tapi pada titik tertentu, saat  “perbanditan memangsa anak sendiri”, maka timbullah persoalan.  Dan itulah yang terjadi dengan kasus rudapaksa berujung pembunuhan atas Yy, atau “Tragedi Bengkulu” itu.

Rudapaksa Niscaya

Dengan pengungkapan gejala “perbanditan memangsa anak sendiri”,  saya hendak masuk pada diskusi sub-hipotesis ketiga, “Rudapaksa menjadi keniscayaan di PUT Rejang Lebong”.

Sebelum bicara jauh, simaklah fakta berikut.  Menurut Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Provinsi Bengkulu, sepanjang tahun 2015 hingga sekarang, telah terjadi 513 kasus rudapaksa di Bengkulu.  Artinya, rata-rata dua kejadian rudapaksa per hari.  

Walau tak dirinci menurut kabupetan atau kecamatan, sudah pasti sebagian kasus rudapaksa itu terjadi di “Kawasan Texas”.  Pelakunya termasuk para “bandit-bandit” setempat.

Bagi para bandit, rudapaksa sebenarnya tak pernah menjadi tujuan utama.   Bandit itu merampok, dan membunuh jika kondisi memaksa, bukan merudapaksa.   Rudapaksa selamanya adalah bentuk kejahatan urutan pertama terhina bagi bandit.

Meski harus dipahami juga, rudapaksa adalah urutan pertama kejahatan paling keji.  Karena selain merampas kehormatan, kejahatan itu juga membunuh karakter korban terudapaksa.

Tapi dalam sub-kultur banditisme, yang memfasilitasi kejahatan-kejahatan “inti” seperti perampokan, pencurian, pembegalan, dan pembunuhan, bentuk-bentuk kejahatan “pinggiran” seperti perjudian, narkoba/miras, dan rudapaksa adalah keniscayaan yang mengikut.   Setelah melakukan kejahatan “inti”, maka kejahatan “pinggiran” mengikut.   Atau ketika jeda kejahatan “inti”, maka kejahatan “pinggiran” menjadi selingan.

Berbeda dari kejahatan “inti” yang ditujukan kepada “orang luar” yang melintas di Kawasan Texas, maka kejahatan “pinggiran” cenderung melibatkan “orang dalam” sebagai pelaku ataupun korban.   Perjudian dan mabuk narkoba/miras umumnya terjadi antar mereka sendiri.

Khusus rudapaksa, mungkin juga mengambil pelintas wilayah sebagai korban, tapi hal ini mestinya jarang terjadi karena sangat jarang ada perempuan berani melintas sendirian di Kawasan Texas.   Karena itu, peluang terbesar untuk menjadi korban ada pada perempuan-perempuan setempat, entah itu sedesa atau lain desa. 

Itu sebabnya dikatakan “perbanditan memangsa anak sendiri”.  Kasus Yy sejauh ini adalah yang paling tragis.  Tapi kalau benar dalam setahun terakhir ada 513 kasus rudapaksa di Bengkulu, maka bisa dibuat praduga bahwa sebagian dari kasus itu adalah gejala “perbanditan memangsa anak sendiri.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun