Beda lagi dengan Soeharjo, temanku yang satu lagi. Dia keberatan dipanggil Yo, menurut pelafalan van Ophuijsen. Dia minta dipanggil Jo, seturut pelafalan EYD. Lha, tapi suku pertama namanya kok “Soe-“, ya.
Tapi tawaku mendadak terhenti. Soalnya, terasa, aku selayaknya sedang menertawakan diri sendiri.
Menertawakan diri sendiri? Ya, karena tersadar, aku juga mengidap banyak inkonsistensi dalam perilaku sosial.
Contohnya. Aku mengaku menerima Pancasila, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, sebagai dasar berbangsa dan bernegara. Tapi enggan menerima tokoh dari luar etnisku atau agamaku untuk menjadi bupati, gubernur, atau presiden.
Contoh lainnya. Aku menista para pejabat korup hingga ke tulang sumsum. Tapi, sambil aku juga tetap korupsi, sekurangnya korupsi waktu, atau korupsi informasi kepada atasan, alias “Asal Bapak Senang”.
Lagi, contoh. Aku meyakini setiap orang selalu punya sisi gelap dan sisi terang dalam hidupnya. Tetapi aku memperlakukan seorang calon gubernur, misalnya saja, sebagai sosok yang sepenuhnya gelap. Atau sebaliknya sebagai sosok yang sepenuhnya terang.
Masih ada lagi. Aku suka membawa-bawa masa lalu ke masa kini. Misalnya, mengritik pemerintah masa kini berdasar pengalaman pemerintah masa lalu.
Intinya, kerap kali pikiran dan hatiku tidak konsisten. Kerap kali mata, telinga, dan mulutku tak konsisten.
Kesimpulannya, aku sebenarnya mengidap perilaku munafik yang laten. Dengan kesimpulan ini, maka aku berhenti menertawakan “ROEMAH KULINER”, “Sutedjo”, dan “Soeharjo”.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H