Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menertawakan Inkonsistensi Sendiri

27 April 2016   08:38 Diperbarui: 27 April 2016   10:18 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Roemah Kuliner" di Megaria Jakarta (Foto: Dokpri)

Pecinta kuliner Jakarta, tentulah tak asing dengan komplek Megaria, dulu Metropole, di bilangan Cikini, Jakarta.

Komplek bangunan atau lokasi ini kini sohor dengan menu masakan ayam paling berbahaya di Indonesia, pelaku tindak kriminal, yakni “Ayam Bakar Solo” (ABS).  Bayangkan, “ayam (mem)bakar (kota) Solo”.

Tapi bukan soal ABS itu yang hendak dibicarakan di sini.   Melainkan soal lokasi nongkrong baru di gedung Megaria.  Sebuah pusat makanan dan jajanan di lantai dua bangunan itu.

Bukan soal ragam sajian menu yang ada di situ.   Yang (mestinya) mampu memanjakan lidah para gastronom.  Tapi soal nama lokasi baru itu.

Dari Jalan Diponegoro, di batas lantai satu dan lantai dua gedung itu, terpampang nama dengan huruf kapital begini:  “ROEMAH KULINER”

Ada yang aneh?   Tentu saja.   Perhatikan bahwa kata “ROEMAH” menggunakan Ejaan van Ophuijsen (1901-1947). Sedangkan kata “KULINER” menggunakan EYD (1972-sekarang).  Artinya?  Inkonsisten!

Kalau mau konsisten, mestinya “ROEMAH KOELINER”, jika Ejaan van Ophuijsen yang jadi pilihan.  Atau “RUMAH KULINER” jika EYD yang jadi pilihan.

Aku tidak tahu apakah kasus “Roemah Kuliner” itu sebuah kesengajaan atau bukan.  Tapi, misalkan itu sebuah kesengajaan, mungkin kata “ROEMAH” itu menunjuk pada “gedung tua”, sedangkan kata “KULINER” menunjuk pada “makanan masa kini”.

Atau, mungkin juga tersebab  anggarannya memang hanya cukup untuk 11 huruf.  Maka diputuskan untuk mengorbankan kata “KOELINER” yang 7 huruf dengan mengejanya seturut EYD, sehingga menjadi “KULINER” yang hanya 6 huruf. Mungkin, lho.

Sambil tertawa geli sendiri dalam hati, aku lalu teringat, bahwa inkonsistensi semacam itu terjadi juga pada nama orang.  Temanku, Sutedjo, keberatan dipanggil Ted, dari ejaan namanya Su-ted-jo (EYD).  Dia minta dipanggil Djo, dari ejaan Su-te-djo (van Ophuijsen).

Beda lagi dengan Soeharjo, temanku yang satu lagi.  Dia keberatan dipanggil Yo, menurut pelafalan van Ophuijsen.  Dia minta dipanggil Jo, seturut pelafalan EYD.  Lha, tapi suku pertama namanya kok “Soe-“, ya.

Tapi tawaku mendadak terhenti.   Soalnya, terasa, aku selayaknya sedang menertawakan diri sendiri.  

Menertawakan diri sendiri?  Ya, karena tersadar, aku juga mengidap banyak inkonsistensi  dalam perilaku sosial.

Contohnya.   Aku mengaku menerima Pancasila, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, sebagai dasar berbangsa dan bernegara.  Tapi enggan menerima tokoh dari luar etnisku atau agamaku untuk menjadi bupati, gubernur, atau presiden.

Contoh lainnya. Aku menista para pejabat korup hingga ke tulang sumsum.  Tapi, sambil aku juga tetap korupsi, sekurangnya korupsi waktu, atau korupsi informasi kepada atasan, alias “Asal Bapak Senang”.

Lagi, contoh.  Aku  meyakini setiap orang selalu punya sisi gelap dan sisi terang dalam hidupnya.  Tetapi aku memperlakukan seorang calon gubernur, misalnya saja, sebagai sosok yang sepenuhnya gelap.  Atau sebaliknya sebagai sosok yang sepenuhnya terang.

Masih ada lagi.  Aku suka membawa-bawa masa lalu ke masa kini.  Misalnya,  mengritik pemerintah masa kini berdasar pengalaman pemerintah masa lalu.  

Intinya, kerap kali pikiran dan hatiku tidak konsisten. Kerap kali mata, telinga, dan mulutku tak konsisten.  

Kesimpulannya, aku sebenarnya mengidap perilaku munafik yang laten. Dengan kesimpulan ini, maka aku berhenti menertawakan “ROEMAH KULINER”, “Sutedjo”, dan “Soeharjo”.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun